Oleh: Asy-Syaikh Abdul 'Aziz bin Abdullah bin Baaz
Tanya: Shaf itu dimulai dari kanan ataukah dari
belakang imam? Apakah disyariatkan harus adanya keseimbangan antara
kanan dan kiri? Dimana ada yang mengatakan: "seimbangkan shaf"
sebagaimana dilakukan oleh mayoritas imam?
Jawab:
Shaf dimulai dari bagian tengah belakang imam, setiap shaf yang kanan
lebih afdhal daripada yang kiri. Yang wajib adalah tidak memulai shaf
baru hingga penuh shaf yang sebelumnya (depannya). Tidak mengapa makmum
yang berada di shaf bagian kanan lebih banyak dan tidak perlu untuk
menyeimbangkan (antara kanan dan kiri). Bahkan perkara yang seperti itu
adalah menyelisihi sunnah, akan tetapi tidak boleh memulai shaf yang
kedua sebelum penuh shaf yang pertama dan tidak boleh membuat yang
ketiga sebelum shaf yang kedua sempurna (penuh), demikian seterusnya.
Demikian juga dikarenakan telah tsabit adanya perintah Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam untuk melakukan hal itu.
Tanya: Bagaimana hukumnya shalat sendirian di belakang
shaf? Apabila ada orang yang masuk dan tidak mendapati tempat yang
kosong pada shaf, apa yang harus dilakukannya? Apabila dia mendapatkan
anak-anak yang belum baligh, apakah dia boleh memulai shaf baru
bersamanya?
Jawab:
Hukum orang yang shalat sendirian di belakang shaf adalah batil berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Tidak ada (sah) shalatnya orang yang shalat sendirian di belakang shaf."
Juga dikarenakan telah tsabit dari beliau shallallahu 'alaihi wasallam
bahwa beliau memerintahkan orang yang shalat di belakang shaf sendirian
untuk mengulangi shalatnya. Dan beliau tidak menanyainya apakah dia
mendapatkan sela pada shaf ataukah tidak? Ini menunjukkan bahwa tidak
ada bedanya antara orang yang mendapatkan celah dalam shaf dengan orang
yang thdak mendapatkannya, dalam rangka menutup pintu yang mengantarkan
bermudah-mudahan melakukan shalat sendirian di belakang shaf.
Akan tetapi kalau datang seorang masbuq dalam keadaan imam sedang ruku',
kemudian dia ruku' di luar shaf lalu masuk ke shaf (dalam keadaan
ruku') sebelum imam sujud, maka sah (mendapatkan satu rakaat). Yang
demikian itu dikarenakan telah tsabit dalam "Shahih Al-Bukhari
rahimahullah" dari Abi Bakrah Ats-Tsaqafi radhiyallahu 'anhu, bahwasanya
dia datang menuju shalat dalam keadaan Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam telah ruku', maka dia pun ruku' sebelum sampai ke shaf,
kemudian dia masuk shaf (dalam keadaan ruku'), maka setelah salam Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan kepadanya:
"Semoga Allah menambah semangat padamu, jangan diulangi."
Beliau tidak memerintahkannya untuk mengulangi rakaat shalatnya.
Adapun orang yang datang dalam keadaan imam sudah shalat dan dia tidak
menjumpai adanya shaf yang kosong, maka dia menunggu hingga datang orang
yang akan membentuk shaf baru bersamanya, meskipun seorang anak-anak
yang belum mencapai usia 7 tahun atau lebih. Atau dia maju berdiri
sejajar di kanan imam dalam rangka mengamalkan hadits-hadits yang ada.
Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kaum muslimin
seluruhnya untuk memahami agamanya dan kokoh di atasnya, sesungguhnya
Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
Tanya: Apabila seseorang mengimami dua orang anak kecil
atau lebih, apakah dia mendirikannya di belakang ataukah di samping
kanannya? Apakah baligh menjadi syarat tempat shafnya anak kecil?
Jawab:
Yang disyariatkan dalam masalah ini adalah menjadikan mereka berdiri di
belakangnya seperti orang-orang yang sudah mukallaf apabila keduanya
telah mencapai umur tujuh tahun atau lebih. Demikian juga kalau keduanya
anak kecil dan orang yang sudah mukallaf (mendapat beban syariat),
mendirikan keduanya di belakangnya. Sebab Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam shalat dengan Anas dan seorang anak yatim, dan beliau
menjadikan keduanya berdiri di belakang beliau ketika Nabi shallallahu
'alaihi wasallam mengunjungi neneknya Anas. Demikian juga tatkala Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam mengatur shaf Jabir dan Jabbar (bin Shahr)
dari Anshar, beliau mendirikan keduanya di belakang beliau.
Adapun makmum satu orang, maka berdiri di sebelah kanannya, baik makmum
tadi laki-laki dewasa maupun anak kecil. Sebab tatkala Nabi shallallahu
'alaihi wasallam shalat malam datang Ibnu 'Abbas berdiri di samping kiri
beliau, beliau memutarnya ke sebelah kanan. Demikian juga Anas
radhiyallahu 'anhu shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada
sebagian shalat nafilah, beliau mendirikan Anas di samping kanan
beliau. Adapun wanita, satu atau lebih, maka berdiri di belakang
laki-laki, tidak boleh baginya mengambil shaf sejajar dengan imam dan
tidak pula dengan laki-laki. Sebab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
tatkala shalat bersama Anas dan anak yatim, beliau menjadikan Ummu
Sulaim di belakang kedua anak tersebut, sedang dia adalah ibunya Anas.
Tanya: Sudah diketahui bahwa tempat berdirinya makmum
apabila sendirian adalah di samping kanan imam. Apakah disyariatkan
untuk mundur sedikit darinya, sebagaimana kami saksikan pada sebagian
orang?
Jawab:
Yang disyariatkan bagi makmum apabila sendirian adalah berdiri di
samping kanan imam sejajar dengannya, dan tidak ada dalil syar'i yang
menunjukkan kepada selain hal itu. Wallahu waliyyut taufik.
Sumber: Sifat Shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam & Fatwa-fatwa
Penting Tentangnya oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dan Asy-Syaikh
Abdul 'Aziz bin Abdullah bin Baaz (penerjemah: Al-Ustadz Abu Muhammad
Harits Abrar Thalib, Abu Hudzaifah, Khoirur-Rijal, dan Alimuddin),
penerbit: Maktabah Al-Ghuroba', Sukoharjo. Pertanyaan no. 40, 42, 48,
dan 57. Hal. 409, 411-412, 417-418, dan 426.
FATWA SYAIKH IBNU AL-'UTSAIMIN TENTANG HUKUM ORANG YANG SHALAT SENDIRIAN DI BELAKANG SHAF
Tanya: Bagaimana pendapat yang shahih mengenai orang yang shalat sendirian di belakang imam?
Jawab:
Ada beberapa pendapat tentang shalat sendirian di belakang shaf imam:
1. Shalatnya sah tetapi menyalahi sunnah, baik shaf
yang ada di depannya penuh atau tidak. Inilah yang terkenal dari ketiga
imam madzhab: Maliki, Abu Hanifah dan Asy-Syafi'i, dari riwayat Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Mereka menafsirkan hadits, "Tidak sah
shalat bagi yang sendirian di belakang imam," kepada
ketidaksempurnaan, bukan ketidaksahan.
2. Shalatnya batal, baik shaf yang di depanya penuh atau tidak. Dasar hukumnya adalah hadits:
"Tidak sah shalat bagi yang sendirian di belakang imam."
Juga hadits yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
telah melihat seorang lelaki shalat sendirian di belakang shaf, lalu ia
disuruh agar mengulanginya kembali.
3. Pendapat moderat (pertengahan); jika barisan shalat penuh, maka shalat munfarid di belakang imam boleh dan sah.
Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Yakni
jika saudara masuk masjid dan ternyata barisan shalat telah penuh kanan
kirinya, maka tidak ada halangan saudara shalat sendirian berdasarkan
firman Allah berikut:
"Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu." (QS. At-Taghabun: 16)
Jika bukan dalam keadaan seperti itu, maka saudara bisa menempuh cara
berikut: menarik seorang makmum dari shaf untuk shalat bersama saudara;
maju ke depan untuk shalat bersama imam; shalat sendirian tidak
berjamaah; atau shalat berjamaah namun berdiri sendirian di belakang
shaf karena tidak mungkin masuk ke shaf yang di depan. Inilah empat cara
yang bisa dilakukan.
Cara kesatu, yaitu menarik seseorang ke belakang untuk shalat bersama
saudara. Cara ini dapat menimbulkan langkah tiga atau terputus dari shaf
bahkan bisa memindahkan seseorang dari tempat yang utama ke tempat yang
sebaliknya, mengacaukan dan dapat menggerakkan seluruh shaf karena di
sana ada tempat kosong yang kemudian diisi oleh masing-masing dengan
cara merapatkan hingga timbul gerakan-gerakan yang tanpa sebab syara'.
Cara kedua, maju ke depan untuk shalat bersama imam. Cara ini
menimbulkan beberapa kekhawatiran. Jika saudara maju dan berdiri sejajar
dengan imam maka cara ini menyalahi sunnah, sebab imam harus sendirian
di tempatnya agar diikuti oleh yang belakang dan jangan sampai terjadi
dua imam. Dalam hal ini tidak bisa diberi alasan dengan hadits yang
menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memasuki masjid dan
dijumpainya Abu Bakar tengah shalat berjamaah lalu beliau ikut shalat di
sebelah kirinya dan menyempurnakan shalatnya, karena hal seperti ini
dalam keadaan darurat, di mana Abu Bakar ketika itu tak punya tempat di
shaf belakang. Akibat lainnya, bila saudara maju ke depan imam, maka
dikhawatirkan akan banyak melangkahi pundak orang, sesuai dengan
banyaknya shaf. Cara ini jelas akan mengganggu orang shalat dan tidak
menyenangkan. Di samping itu, jika setiap yang datang kemudian disuruh
ke depan jajaran imam, maka tempat imam akan menjadi shaf penuh dan hal
ini menyalahi sunnah.
Sedangkan cara ketiga, yaitu saudara meninggalkan berjamaah dan shalat
sendirian, berarti saudara kehilangan nilai berjamaah dan nilai barisan
shalat. Padahal diketahui bahwa shalat berjamaah walau sendirian shafnya
adalah lebih baik ketimbang sendirian tanpa berjamaah. Hal ini telah
dikuatkan oleh berbagai atsar (keterangan sahabat) dan pandangan yang
sehat. Allah sendiri tak akan membebani seseorang kecuali menurut
kesanggupannya. Maka menurutku pendapat yang terkuat adalah jika shaf
shalat telah penuh lalu seseorang shalat di belakang shaf dengan
berjamaah adalah lebih baik dan shalatnya sah.
Tanya: Apa hukum shalat sendirian di belakang barisan shalat?
Jawab:
Jika seseorang masuk masjid dan dijumpainya barisan shalat telah penuh,
hendaklah ia shalat sendirian di shaf tersendiri dalam keadaan tetap
berjamaah, maka cara ini tak menjadi masalah sebab Allah berfirman:
"Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu." (QS. At-Taghabun: 16)
Karena shalat berjamaah itu wajib dan bagian dari takwa kepada Allah.
Karena itu ia wajib mengikutinya walau berada pada shaf tersendiri
lantaran barisan di depannya telah penuh. Jika ada yang berkata bahwa
cara ini bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam berikut:
"Tidak sempurna shalatnya orang yang sendirian di belakang shaf."
Maka jawabannya adalah bahwa hadits ini masih diperselisihkan maknanya
oleh para ulama. Menurut sebagian ulama hadits tersebut ditujukan atas
ketidaksempurnaan shalat seperti tak sempurna orang yang shalat di
hadapan makanan, sebab pada dasarnya shalat di depan makanan itu sah-sah
saja, namun tak akan sempurna. Begitu pula halnya dengan orang shalat
berjamaah dengan shaf tersendiri. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik,
Abu Hanifah dan Asy-Syafi'i dari riwayat Imam Ahmad.
Tetapi menurut pendapat yang shahih hadits tersebut menunjukkan ketidaksahan, berdasarkan kaidah ushuliyah berikut:
"Jika ada larangan, maka pada dasarnya larangan itu tertuju kepada apa
yang dilarangnya. Jika tidak, berarti menunjukkan ketidaksahan; dan jika
tidak pula, berarti menunjukkan ketidaksempurnaan."
Maka hadits "Tidak sempurna shalatnya orang yang sendirian di belakang
shaf," mungkin dapat ditafsirkan kepada ketidaksahan, yakni shalatnya
orang sendirian di belakang shaf tidak sah. Hal ini diperkuat dengan
keterangan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyuruh
seseorang yang shalat sendirian di belakang shaf agar mengulangi
shalatnya.
Dengan demikian, seseorang wajib berdiri pada shaf shalat yang sudah ada kebuali jika tidak mampu, berdasarkan firman Allah:
"Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu." (QS. At-Taghabun: 16)
Dalam ayat lain disebutkan:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah: 286)
Maka bagi orang seperti di atas tidak akan bisa lepas dari lima keadaan:
meninggalkan shaf dan shalat sendirian; atau menarik seseorang dari
shaf depan untuk shalat bersama; atau maju ke depan sejajar dengan imam;
atau shalat sendirian di belakang shaf atau menunggu orang datang.
Jika maju ke barisan imam, maka ada dua kekhawatiran: akan mengacaukan
orang shalat lantaran melangkahi mereka; atau masuk dari pintu depan
arah kiblat lalu berdiri bersama imam, maka cara inipun menyalahi
sunnah, sebab imam mesti sendirian.
Jika seseorang ditarik dari shaf, maka akan terjadi beberapa
kekhawatiran sebagaimana telah dijelaskan sebelumny (kihat hal. 62-63).
Maka berdasarkan pendapat yang moderat dari Ibnu Taimiyah, jika
seseorang kesulitan untuk bergabung dengan shaf yang telah ada, maka ia
boleh berdiri sendirian dalam berjamaah. Ibnu Taimiyah mengemukakan
dalil yang sangat asing berdasarkan qiyas; yakni wanita harus membuat
shaf sendirian di belakang shaf (lelaki) yang telah ada, maka shalatnya
sah, sebab baginya thdak ada shaf yang diperintahkan syara'. Begitu pula
halnya dengan seorang lelaki yang tak punya shaf lantaran sudah penuh,
maka ia boleh membuat sendirian. Maka dalam hal ini Ibnu Taimiyah telah
menyamakan (qiyas) antara alasan syara' dengan akal.
Sumber: 257 Tanya Jawab Fatwa-fatwa Al-'Utsaimin (judul asli: Fatawa
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-'Utsaimin) oleh Asy-Syaikh Muhammad Shalih
Al-'Utsaimin, alih bahasa: Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, penerbit: Gema
Risalah Press, Bandung. Cet. Pertama, Mei 1997. Hal. 96-100.
http://fadhlihsan.blogspot.com/2012/06/menyusun-shaf-shalat-dari-kanan-dulu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar