Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu menjawab permasalahan yang seperti ini dengan pernyataan beliau,
“Dahulu di jaman jahiliah, orang-orang yang mengangkat anak
memperlakukan anak angkat mereka seperti anak mereka yang hakiki atau
seperti anak kandung dari segala sisi; dalam hal warisan, dalam hal
bolehnya anak angkat tersebut berkhalwat (bersepi-sepi) dengan istri
mereka, dan dianggapnya istri mereka sebagai mahram bagi anak angkat
tersebut.
Adalah Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, maula Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, di masa sebelum beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
diangkat sebagai nabi, dipanggil dengan Zaid bin Muhammad (karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai anak). Maka Allah
‘Azza wa Jalla berkehendak untuk menghapuskan semua anggapan
orang-orang jahiliah tersebut berkaitan dengan anak angkat.
Datanglah syariat Islam dalam masalah anak angkat ini berikut hukum-hukumnya yang tegas sebagaimana tersebut berikut ini:
1. Menghapus dan melarang adanya anak angkat yang dianggap sebagai anak yang hakiki dalam segala sisi, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ۚذَٰلِكُمْ
قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ ۖ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ
يَهْدِي السَّبِيلَ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ
اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي
الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ
“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan anak-anak angkat kalian
sebagai anak kandung kalian sendiri. Yang demikian itu hanyalah
perkataan kalian di mulut kalian saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka
(anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah
yang lebih adil di sisi Allah. Dan jika kalian tidak mengetahui
bapak-bapak mereka maka panggillah mereka sebagai saudara-saudara
kalian seagama dan maula-maula kalian….” (Al-Ahzab: 4-5)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah ‘Azza wa Jalla menerangkan bahwa
ucapan seseorang kepada anak orang lain dengan “anakku” tidaklah
berarti anak tersebut menjadi anaknya yang sebenarnya yang dengannya
ditetapkan hukum-hukum bunuwwah (anak dengan orangtua kandungnya).
Bahkan tidaklah mungkin anak tersebut bisa menjadi anak kandung bagi
selain ayahnya. Karena, seorang anak yang tercipta dari sulbi seorang
lelaki tidaklah mungkin ia dianggap tercipta dari sulbi lelaki yang
lain, sebagaimana tidak mungkinnya seseorang memiliki dua hati/jantung
[1]. Dan Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita agar mengembalikan
penasaban anak-anak angkat tersebut kepada ayah kandung mereka, bila
memang diketahui siapa ayah kandung mereka. Bila tidak diketahui maka
mereka adalah saudara-saudara kita seagama dan maula kita. Allah
Subhanahu wa Ta’ala beritakan bahwa yang demikian ini lebih adil di
sisi-Nya.
2. Memutuskan hubungan waris antara anak angkat dengan ayah angkatnya. Hal ini terkandung dalam ayat-ayat yang telah dibawakan di atas [2]. Juga disebutkan bahwa dalam perkara anak angkat, Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat:
وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ
“Dan jika ada orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan
mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya [3].” (An-Nisa’: 33)
Ibnu Jarir rahimahullahu mengeluarkan riwayat dari Sa’id ibnul
Musayyab rahimahullahu yang menyatakan, “Ayat ini hanyalah turun
terhadap orang-orang yang dulunya menganggap anak pada selain anak
kandung mereka dan mereka memberikan warisan terhadap anak-anak angkat
tersebut. Maka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat dalam perkara
mereka. Untuk anak-anak angkat, Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan
bagian dari harta (orangtua/ayah angkat mereka) dalam bentuk wasiat
[4], sementara warisan dikembalikan kepada yang berhak dari kalangan
dzawil arham [5] dan ‘ashabah [6]. Allah ‘Azza wa Jalla meniadakan
adanya hak waris dari orangtua angkat untuk anak angkat mereka, namun
Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan adanya bagian harta untuk anak angkat
tersebut dalam bentuk wasiat.” [7]
3. Dihalalkannya mantan istri anak angkat (setelah perceraian keduanya) untuk dinikahi oleh ayah angkatnya.
Hal ini tampak dengan Allah ‘Azza wa Jalla menikahkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsy radhiyallahu
‘anha setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu yang
dulunya merupakan anak angkat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebelum turunnya ayat-ayat yang melarang hal tersebut. Allah ‘Azza wa
Jalla menerangkan hikmah dari kejadian tersebut dengan firman-Nya:
زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ
مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ
ۖفَلَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا
“Kami nikahkan dia denganmu agar tidak ada keberatan bagi kaum
mukminin untuk menikahi istri-istri anak angkat mereka apabila anak
angkat tersebut telah menyelesaikan urusan dengan istri-istri mereka
(telah bercerai).” (Al-Ahzab: 37)
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat yang menyebutkan tentang wanita-wanita yang haram dinikahi:
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ
“…dan istri-istri dari anak-anak kandung kalian….” (An-Nisa’: 23)
Berarti dikecualikan dalam hukum pengharaman tersebut para istri
anak-anak angkat (boleh dinikahi oleh ayah angkat suaminya bila mereka
telah bercerai).
4. Keharusan istri ayah angkat untuk berhijab dari anak angkatnya, sebagaimana ditunjukkan dalam kisah Sahlah bintu Suhail istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, tatkala Sahlah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyatakan,
“Wahai Rasulullah, kami dulunya menganggap Salim seperti anak kami
sendiri. Sementara Allah telah menurunkan ayat tentang pengharaman anak
angkat bila diperlakukan seperti anak kandung dalam segala sisi.
Padahal Salim ini sudah biasa masuk menemuiku (tanpa hijab)….”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menetapkan kepada Sahlah
ketidakbolehan ikhtilath dengan anak angkat setelah turunnya ayat
Al-Qur’an tersebut. Jalan keluarnya, beliau menyuruh Sahlah agar
memberikan air susunya kepada Salim, dengan lima susuan yang dengannya
ia menjadi mahram bagi Salim (yakni sebagai ibu susu, pent.)
5. Ancaman yang ditekankan dan peringatan yang keras bagi orang yang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya. Dalam hal ini ada ayat Al-Qur’an yang di-mansukh (dihapus) bacaannya namun hukumnya tetap berlaku, yaitu:
وَلَا تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ
“Dan janganlah kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak
kalian karena sungguh itu adalah kekufuran bila kalian benci (untuk
bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”
Al-Imam Ahmad rahimahullahu meriwayatkan dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
كُنَّا نَقْرَأُ: وَلاَ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ فَإِنَّهُ كُفْرٌ بِكُمْ أَنْ تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ
Kami dulunya membaca ayat: “Dan janganlah kalian benci (untuk
bernasab) dengan bapak-bapak kalian karena sungguh itu adalah kekufuran
bila kalian benci (untuk bernasab) dengan bapak-bapak kalian.”
Dalam hadits yang shahih dinyatakan:
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيْهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Siapa yang mengaku-aku bernasab kepada selain ayahnya dalam keadaan
ia tahu orang itu bukanlah ayah kandungnya maka surga haram baginya.”
[8]
Tersisa
sekarang dua perkara dalam masalah menyebut anak pada selain anak
kandung dan penasaban kepada selain ayah kandung. Kita akan sebutkan
berikut ini:
Pertama: Apabila seseorang memanggil seorang anak
dengan panggilan/sebutan ‘anakku’ (padahal bukan anaknya yang
sebenarnya) untuk memuliakan dan menyatakan kecintaannya kepada si
anak, hal ini tidaklah termasuk dalam larangan berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
قَدَّمَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أُغَيْلِمَةَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَلَى حُمُرَاتٍ لَنَا
مِنْ جَمْعٍ، فَجَعَلَ يَلْطَخُ أَفْخَاذَنَا وَيَقُوْلُ:
أُبَيْنـِيَّ –تَصْغِيرُ ابْنِي– لاَ تَرْمُوا الْجُمْرَةَ حَتَّى
تَطْلُعَ الشَّمْسُ
(Pada malam Muzdalifah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengedepankan kami anak-anak kecil dari Bani Abdil Muththalib (lebih
awal meninggalkan tempat tersebut/tidak mabit, pent.) di atas
keledai-keledai kami. Mulailah beliau memukul dengan perlahan paha-paha
kami seraya berkata, “Wahai anak-anakku, janganlah kalian melempar
jumrah sampai matahari terbit.” [9]
Ini dalil yang jelas sekali, karena Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika hajjatul wada’ (haji wada’) berusia sepuluh tahun.
Kedua: Orang yang sudah terlalu masyhur dengan
sebutan yang mengandung penasaban kepada selain ayahnya, seperti
Al-Miqdad ibnu ‘Amr radhiyallahu ‘anhu yang lebih masyhur dengan
Al-Miqdad ibnul Aswad, di mana hampir-hampir ia tidak dikenal kecuali
dengan penasaban kepada Al-Aswad ibnu Abdi Yaghuts yang di masa
jahiliah mengangkatnya sebagai anak, maka ketika turun ayat yang
melarang penasaban kepada selain ayah kandung, disebutlah Al-Miqdad
dengan ibnu ‘Amr. Namun penyebutannya dengan Al-Miqdad ibnul Aswad
terus berlanjut, semata-mata sebagai penyebutan bukan dengan maksud
penasaban. Yang seperti ini tidak apa-apa sebagaimana disebutkan dalam
Tafsir Al-Qurthubi, dengan alasan yang disebutkan oleh Al-Imam
Al-Qurthubi rahimahullahu bahwa tidak pernah didengar dari orang
terdahulu yang menganggap orang yang dipakaikan baginya sebutan
tersebut telah berbuat maksiat. [10]” Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Fatawa wa Rasa’il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy
Syaikh, 9/21-25, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah
Al-Muslimah, hal. 889-891)
Catatan kaki:
[1] Awal ayat di atas berbunyi:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati/jantung dalam rongganya….” (Al-Ahzab: 4)
[2] Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam ayat ke 6 surah Al-Ahzab:
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ
“Dan orang-orang yang memiliki hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang
mukmin (yang lain yang tidak punya hubungan darah) dan orang-orang
Muhajirin….”
[3] Awal ayat ini adalah:
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya….”
[4] Wasiat di sini tidak lebih dari 1/3 harta si mayit.
[5] Dzawil arham adalah semua kerabat mayit yang tidak mendapat
bagian fardh dan ta’shib dari harta warisan. Ahli waris terbagi dua:
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan fardh yaitu ia mendapat bagian yang tertentu kadarnya, seperti setengah atau seperempat.
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan ta’shib yaitu kadarnya dari warisan tidak ada penentuannya.
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan fardh yaitu ia mendapat bagian yang tertentu kadarnya, seperti setengah atau seperempat.
- Ada yang mendapat bagian warisan dengan ta’shib yaitu kadarnya dari warisan tidak ada penentuannya.
[6] ‘Ashabah adalah kerabat mayit yang mendapat bagian dari harta
warisan tanpa ada batasan tertentu, bahkan bila dia cuma sendirian, dia
berhak mendapat semua harta si mayit.
[7] Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, 4/57.
[8] HR. Al-Bukhari no. 4326 dan Muslim no. 217.
[9] Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
[10] Tafsir Al-Qurthubi, 14/80.
http://kaahil.wordpress.com/2013/03/11/lengkap-hukum-seputar-anak-angkat-dalam-islam-bolehkah-menjadikan-anak-orang-lain-sebagai-anak-angkat-dalam-keluarga-kita-di-mana-kita-menganggapnya-seperti-anak-sendiri-lalu-bagaimana-hijab/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar