Senin, 30 Juli 2012
Raket Listrik Untuk Nyamuk
Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, seorang penanya bertanya :
“Apa hukum menggunakan alat listrik yang bisa menyetrum serangga?
Asy-Syaikh (menjawab) :
“Tidak mengapa menggunakannya, dikarenakan dua alasan:
Pertama : menyetrumnya tidaklah membakarnya, akan tetapi hal tersebut membuatnya mati, buktinya jika engkau letakkan kertas di atas alat ini, kertas itu tidak terbakar.
Kedua : orang yang meletakkan alat ini tidak bermaksud untuk menyiksa lalat dan serangga dengan api, akan tetapi tujuannya adalah
untuk menolak gangguannya. Ada hadits yang melarang menyiksa dengan api, sedangkan ini tidaklah untuk menyiksa akan tetapi untuk menolak gangguan.
Ketiga : secara umum, sangat sulit untuk membasmi serangga kecuali dengan menggunakan alat ini atau dengan alat yang menyemprotkan bau tidak enak yang terkadang bisa membahayakan tubuh. Dan Nabi shollallohu alaihi wa sallam pernah membakar pohon kurma Bani Nadhir, sedangkan di pohon kurma biasanya terdapat burung, serangga dan yang semisalnya.”
- – -
Diterjemahkan dari:
Fatawa Nur ‘Ala ad-Darb
http://al-atsariyyah.com/raket-listrik-untuk-nyamuk.html
Minggu, 15 Juli 2012
Hukum Syukuran Pindah Rumah
Jawab : Syaikh Al-Fauzan ditanya mengenai masalah ini, maka beliau menjawab, “Tidak mengapa mengadakan pesta (undangan makan) ketika pindah ke rumah baru, dengan mengundang teman-teman dan karib kerabat, jika dia mengerjakannya semata-mata untuk mengungkapkan kesenangan dan kegembiraannya. Adapun jika acara itu disertai dengan keyakinan bahwa acara itu bisa mencegah kejelekan jin, maka mengerjakan amalan ini tidak boleh, karena itu adalah kesyirikan dan keyakinan yang rusak. Adapun jika dikerjakan karena adat, maka tidak masalah.”
[Dinukil dari Al-Muntaqa jilid 5 no. 444]
Dan Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya dengan teks soal sebagai berikut: Telah membudaya di tengah-tengah manusia, bahwa siapa saja yang pindah ke rumah baru atau membeli rumah baru atau dia mendapat pekerjaan atau dia naik jabatan atau yang semisalnya, maka dia mengadakan semacam acara makan-makan. Apa hukum amalan ini?
Beliau menjawab, “Ini termasuk dari pesta-pesta yang mubah, maka boleh bagi seseorang untuk mengadakan acara ketika dia pindah ke rumah baru atau ketika dia lulus -misalnya-. Yang jelas, jika pestanya diadakan karena adanya moment tertentu, maka tidak ada masalah.”
[Dinukil dari Fatawa Muhimmah li Muwazhzhifil Ummah]
Wallahu A’lam
Dijawab oleh Ust. Hammad Abu Mu’awiyah.
http://almakassari.com/tanya-jawab/hukum-syukuran-pindah-rumah.html
Selasa, 12 Juni 2012
Tanya: Shaf itu dimulai dari kanan ataukah dari belakang imam? Apakah disyariatkan harus adanya keseimbangan antara kanan dan kiri? Dimana ada yang mengatakan: "seimbangkan shaf" sebagaimana dilakukan oleh mayoritas imam?
Jawab:
Shaf dimulai dari bagian tengah belakang imam, setiap shaf yang kanan lebih afdhal daripada yang kiri. Yang wajib adalah tidak memulai shaf baru hingga penuh shaf yang sebelumnya (depannya). Tidak mengapa makmum yang berada di shaf bagian kanan lebih banyak dan tidak perlu untuk menyeimbangkan (antara kanan dan kiri). Bahkan perkara yang seperti itu adalah menyelisihi sunnah, akan tetapi tidak boleh memulai shaf yang kedua sebelum penuh shaf yang pertama dan tidak boleh membuat yang ketiga sebelum shaf yang kedua sempurna (penuh), demikian seterusnya. Demikian juga dikarenakan telah tsabit adanya perintah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk melakukan hal itu.
Tanya: Bagaimana hukumnya shalat sendirian di belakang shaf? Apabila ada orang yang masuk dan tidak mendapati tempat yang kosong pada shaf, apa yang harus dilakukannya? Apabila dia mendapatkan anak-anak yang belum baligh, apakah dia boleh memulai shaf baru bersamanya?
Jawab:
Hukum orang yang shalat sendirian di belakang shaf adalah batil berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
"Tidak ada (sah) shalatnya orang yang shalat sendirian di belakang shaf."
Juga dikarenakan telah tsabit dari beliau shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan orang yang shalat di belakang shaf sendirian untuk mengulangi shalatnya. Dan beliau tidak menanyainya apakah dia mendapatkan sela pada shaf ataukah tidak? Ini menunjukkan bahwa tidak ada bedanya antara orang yang mendapatkan celah dalam shaf dengan orang yang thdak mendapatkannya, dalam rangka menutup pintu yang mengantarkan bermudah-mudahan melakukan shalat sendirian di belakang shaf.
Akan tetapi kalau datang seorang masbuq dalam keadaan imam sedang ruku', kemudian dia ruku' di luar shaf lalu masuk ke shaf (dalam keadaan ruku') sebelum imam sujud, maka sah (mendapatkan satu rakaat). Yang demikian itu dikarenakan telah tsabit dalam "Shahih Al-Bukhari rahimahullah" dari Abi Bakrah Ats-Tsaqafi radhiyallahu 'anhu, bahwasanya dia datang menuju shalat dalam keadaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah ruku', maka dia pun ruku' sebelum sampai ke shaf, kemudian dia masuk shaf (dalam keadaan ruku'), maka setelah salam Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan kepadanya:
"Semoga Allah menambah semangat padamu, jangan diulangi."
Beliau tidak memerintahkannya untuk mengulangi rakaat shalatnya.
Adapun orang yang datang dalam keadaan imam sudah shalat dan dia tidak menjumpai adanya shaf yang kosong, maka dia menunggu hingga datang orang yang akan membentuk shaf baru bersamanya, meskipun seorang anak-anak yang belum mencapai usia 7 tahun atau lebih. Atau dia maju berdiri sejajar di kanan imam dalam rangka mengamalkan hadits-hadits yang ada. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kaum muslimin seluruhnya untuk memahami agamanya dan kokoh di atasnya, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat.
Tanya: Apabila seseorang mengimami dua orang anak kecil atau lebih, apakah dia mendirikannya di belakang ataukah di samping kanannya? Apakah baligh menjadi syarat tempat shafnya anak kecil?
Jawab:
Yang disyariatkan dalam masalah ini adalah menjadikan mereka berdiri di belakangnya seperti orang-orang yang sudah mukallaf apabila keduanya telah mencapai umur tujuh tahun atau lebih. Demikian juga kalau keduanya anak kecil dan orang yang sudah mukallaf (mendapat beban syariat), mendirikan keduanya di belakangnya. Sebab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat dengan Anas dan seorang anak yatim, dan beliau menjadikan keduanya berdiri di belakang beliau ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengunjungi neneknya Anas. Demikian juga tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatur shaf Jabir dan Jabbar (bin Shahr) dari Anshar, beliau mendirikan keduanya di belakang beliau.
Adapun makmum satu orang, maka berdiri di sebelah kanannya, baik makmum tadi laki-laki dewasa maupun anak kecil. Sebab tatkala Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat malam datang Ibnu 'Abbas berdiri di samping kiri beliau, beliau memutarnya ke sebelah kanan. Demikian juga Anas radhiyallahu 'anhu shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada sebagian shalat nafilah, beliau mendirikan Anas di samping kanan beliau. Adapun wanita, satu atau lebih, maka berdiri di belakang laki-laki, tidak boleh baginya mengambil shaf sejajar dengan imam dan tidak pula dengan laki-laki. Sebab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tatkala shalat bersama Anas dan anak yatim, beliau menjadikan Ummu Sulaim di belakang kedua anak tersebut, sedang dia adalah ibunya Anas.
Tanya: Sudah diketahui bahwa tempat berdirinya makmum apabila sendirian adalah di samping kanan imam. Apakah disyariatkan untuk mundur sedikit darinya, sebagaimana kami saksikan pada sebagian orang?
Jawab:
Yang disyariatkan bagi makmum apabila sendirian adalah berdiri di samping kanan imam sejajar dengannya, dan tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan kepada selain hal itu. Wallahu waliyyut taufik.
Sumber: Sifat Shalat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam & Fatwa-fatwa Penting Tentangnya oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dan Asy-Syaikh Abdul 'Aziz bin Abdullah bin Baaz (penerjemah: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib, Abu Hudzaifah, Khoirur-Rijal, dan Alimuddin), penerbit: Maktabah Al-Ghuroba', Sukoharjo. Pertanyaan no. 40, 42, 48, dan 57. Hal. 409, 411-412, 417-418, dan 426.
FATWA SYAIKH IBNU AL-'UTSAIMIN TENTANG HUKUM ORANG YANG SHALAT SENDIRIAN DI BELAKANG SHAF
Tanya: Bagaimana pendapat yang shahih mengenai orang yang shalat sendirian di belakang imam?
Jawab:
Ada beberapa pendapat tentang shalat sendirian di belakang shaf imam:
1. Shalatnya sah tetapi menyalahi sunnah, baik shaf yang ada di depannya penuh atau tidak. Inilah yang terkenal dari ketiga imam madzhab: Maliki, Abu Hanifah dan Asy-Syafi'i, dari riwayat Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Mereka menafsirkan hadits, "Tidak sah shalat bagi yang sendirian di belakang imam," kepada
ketidaksempurnaan, bukan ketidaksahan.
2. Shalatnya batal, baik shaf yang di depanya penuh atau tidak. Dasar hukumnya adalah hadits:
"Tidak sah shalat bagi yang sendirian di belakang imam."
Juga hadits yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melihat seorang lelaki shalat sendirian di belakang shaf, lalu ia disuruh agar mengulanginya kembali.
3. Pendapat moderat (pertengahan); jika barisan shalat penuh, maka shalat munfarid di belakang imam boleh dan sah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Yakni jika saudara masuk masjid dan ternyata barisan shalat telah penuh kanan kirinya, maka tidak ada halangan saudara shalat sendirian berdasarkan firman Allah berikut:
"Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu." (QS. At-Taghabun: 16)
Jika bukan dalam keadaan seperti itu, maka saudara bisa menempuh cara berikut: menarik seorang makmum dari shaf untuk shalat bersama saudara; maju ke depan untuk shalat bersama imam; shalat sendirian tidak berjamaah; atau shalat berjamaah namun berdiri sendirian di belakang shaf karena tidak mungkin masuk ke shaf yang di depan. Inilah empat cara yang bisa dilakukan.
Cara kesatu, yaitu menarik seseorang ke belakang untuk shalat bersama saudara. Cara ini dapat menimbulkan langkah tiga atau terputus dari shaf bahkan bisa memindahkan seseorang dari tempat yang utama ke tempat yang sebaliknya, mengacaukan dan dapat menggerakkan seluruh shaf karena di sana ada tempat kosong yang kemudian diisi oleh masing-masing dengan cara merapatkan hingga timbul gerakan-gerakan yang tanpa sebab syara'.
Cara kedua, maju ke depan untuk shalat bersama imam. Cara ini menimbulkan beberapa kekhawatiran. Jika saudara maju dan berdiri sejajar dengan imam maka cara ini menyalahi sunnah, sebab imam harus sendirian di tempatnya agar diikuti oleh yang belakang dan jangan sampai terjadi dua imam. Dalam hal ini tidak bisa diberi alasan dengan hadits yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memasuki masjid dan dijumpainya Abu Bakar tengah shalat berjamaah lalu beliau ikut shalat di sebelah kirinya dan menyempurnakan shalatnya, karena hal seperti ini dalam keadaan darurat, di mana Abu Bakar ketika itu tak punya tempat di shaf belakang. Akibat lainnya, bila saudara maju ke depan imam, maka dikhawatirkan akan banyak melangkahi pundak orang, sesuai dengan banyaknya shaf. Cara ini jelas akan mengganggu orang shalat dan tidak menyenangkan. Di samping itu, jika setiap yang datang kemudian disuruh ke depan jajaran imam, maka tempat imam akan menjadi shaf penuh dan hal ini menyalahi sunnah.
Sedangkan cara ketiga, yaitu saudara meninggalkan berjamaah dan shalat sendirian, berarti saudara kehilangan nilai berjamaah dan nilai barisan shalat. Padahal diketahui bahwa shalat berjamaah walau sendirian shafnya adalah lebih baik ketimbang sendirian tanpa berjamaah. Hal ini telah dikuatkan oleh berbagai atsar (keterangan sahabat) dan pandangan yang sehat. Allah sendiri tak akan membebani seseorang kecuali menurut kesanggupannya. Maka menurutku pendapat yang terkuat adalah jika shaf shalat telah penuh lalu seseorang shalat di belakang shaf dengan berjamaah adalah lebih baik dan shalatnya sah.
Tanya: Apa hukum shalat sendirian di belakang barisan shalat?
Jawab:
Jika seseorang masuk masjid dan dijumpainya barisan shalat telah penuh, hendaklah ia shalat sendirian di shaf tersendiri dalam keadaan tetap berjamaah, maka cara ini tak menjadi masalah sebab Allah berfirman:
"Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu." (QS. At-Taghabun: 16)
Karena shalat berjamaah itu wajib dan bagian dari takwa kepada Allah. Karena itu ia wajib mengikutinya walau berada pada shaf tersendiri lantaran barisan di depannya telah penuh. Jika ada yang berkata bahwa cara ini bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berikut:
"Tidak sempurna shalatnya orang yang sendirian di belakang shaf."
Maka jawabannya adalah bahwa hadits ini masih diperselisihkan maknanya oleh para ulama. Menurut sebagian ulama hadits tersebut ditujukan atas ketidaksempurnaan shalat seperti tak sempurna orang yang shalat di hadapan makanan, sebab pada dasarnya shalat di depan makanan itu sah-sah saja, namun tak akan sempurna. Begitu pula halnya dengan orang shalat berjamaah dengan shaf tersendiri. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Asy-Syafi'i dari riwayat Imam Ahmad.
Tetapi menurut pendapat yang shahih hadits tersebut menunjukkan ketidaksahan, berdasarkan kaidah ushuliyah berikut:
"Jika ada larangan, maka pada dasarnya larangan itu tertuju kepada apa yang dilarangnya. Jika tidak, berarti menunjukkan ketidaksahan; dan jika tidak pula, berarti menunjukkan ketidaksempurnaan."
Maka hadits "Tidak sempurna shalatnya orang yang sendirian di belakang shaf," mungkin dapat ditafsirkan kepada ketidaksahan, yakni shalatnya orang sendirian di belakang shaf tidak sah. Hal ini diperkuat dengan keterangan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menyuruh seseorang yang shalat sendirian di belakang shaf agar mengulangi shalatnya.
Dengan demikian, seseorang wajib berdiri pada shaf shalat yang sudah ada kebuali jika tidak mampu, berdasarkan firman Allah:
"Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu." (QS. At-Taghabun: 16)
Dalam ayat lain disebutkan:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah: 286)
Maka bagi orang seperti di atas tidak akan bisa lepas dari lima keadaan: meninggalkan shaf dan shalat sendirian; atau menarik seseorang dari shaf depan untuk shalat bersama; atau maju ke depan sejajar dengan imam; atau shalat sendirian di belakang shaf atau menunggu orang datang.
Jika maju ke barisan imam, maka ada dua kekhawatiran: akan mengacaukan orang shalat lantaran melangkahi mereka; atau masuk dari pintu depan arah kiblat lalu berdiri bersama imam, maka cara inipun menyalahi sunnah, sebab imam mesti sendirian.
Jika seseorang ditarik dari shaf, maka akan terjadi beberapa kekhawatiran sebagaimana telah dijelaskan sebelumny (kihat hal. 62-63).
Maka berdasarkan pendapat yang moderat dari Ibnu Taimiyah, jika seseorang kesulitan untuk bergabung dengan shaf yang telah ada, maka ia boleh berdiri sendirian dalam berjamaah. Ibnu Taimiyah mengemukakan dalil yang sangat asing berdasarkan qiyas; yakni wanita harus membuat shaf sendirian di belakang shaf (lelaki) yang telah ada, maka shalatnya sah, sebab baginya thdak ada shaf yang diperintahkan syara'. Begitu pula halnya dengan seorang lelaki yang tak punya shaf lantaran sudah penuh, maka ia boleh membuat sendirian. Maka dalam hal ini Ibnu Taimiyah telah menyamakan (qiyas) antara alasan syara' dengan akal.
Sumber: 257 Tanya Jawab Fatwa-fatwa Al-'Utsaimin (judul asli: Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-'Utsaimin) oleh Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-'Utsaimin, alih bahasa: Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, penerbit: Gema Risalah Press, Bandung. Cet. Pertama, Mei 1997. Hal. 96-100.
http://fadhlihsan.blogspot.com/2012/06/menyusun-shaf-shalat-dari-kanan-dulu.html
Bagaimana Meminta Maaf kepada Orang yang Telah Meninggal?
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Adapun kalau kalau orang yang kita zhalimi itu sudah tidak kita ketahui dimana tinggalnya atau kalau dia telah meninggal dan kita tidak sempat untuk meminta maaf kepadanya maka -secara ringkas- berikut amalan yang bisa kita lakukan:
1. Banyak-banyak minta ampun kepada Allah.
2. Menyesali kezhaliman yang telah dia lakukan kepada orang tersebut.
3. Banyak-banyak meminta ampunkan orang yang telah dia zhalimi.
4. Menyebut-nyebut kebaikan orang yang telah dia zhalimi itu di berbagai kesempatan, terkhusus di depan orang-orang yang dulunya dia menzhalimi orang tersebut di hadapan mereka.
5. Banyak-banyak bersedekah, karena “sedekah itu menghapuskan kesalahan-kesalahan seperti air mematikan api.” (HR. At-Tirmizi)
Apakah setelah dia melakukan semua hal tersebut maka kezhalimannya akan Allah maafkan? Wallahu a’lam, tidak ada kepastian karena sudah kita ketahui bersama bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa kezhaliman kepada orang lain sampai orang yang kita zhalimi memaafkan kita. Akan tetapi dia berharap kepada Allah semoga dengan semua amalan di atas Dia berkenan untuk memberikan maaf-Nya atau membuat orang kita zhalimi memaafkan kita, karena Allah tidak akan menelantarkan amalan orang-orang yang berbuat baik. Wallahu a’lam.
Tanya: Afwan ustadz, ana mohon penjelasan, bagaimana kalo kita sudah berbuat baik dan memohon maaf kepada orang yang kita zholimi, namun ia tetap tidak memaafkan kita bahkan balik mencaci? Apakah kita masih menanggung dosanya? Syukron.
Jawab:
Wallahu a’lam. Kalau memang kita yang lebih dahulu berbuat zhalim kepadanya, lantas dia tidak mau memaafkan kita -mungkin karena dia sangat tersinggung dengan perbuatan kita-, maka itu adalah hak dia dan kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali terus meminta maaf kepadanya, karena kitalah yang menzhalimi dia.
Adapun kalau dia balik berbuat zhalim kepada kita maka demikian pula dia wajib meminta maaf kepada kita. Kezhaliman sesama kaum mukminin yang terjadi di dunia lantas tidak terselesaikan di dunia maka akan diperhitungkan/diqishah pada hari kiamat, yaitu di atas qintharah (jembatan) yang ada setelah sirath (titian), sebelum masuk ke dalam surga. Wallahu a’lam.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/?p=425 .
Bagaimana hukum menjulurkan kedua kaki ke kiblat di masjid? Dan bolehkah makan dan tidur di masjid?
Dan juga tidak mengapa ia makan di masjid ataupun tidur di sana jika ia membutuhkannya, tapi ia harus menjaga kebersihan masjid. Dan jika ia junub ketika tidur di masjid, hendaknya ia segera keluar ketika terbangun dan mandi junub. (Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah no. 5795)
* * *
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan : Apakah boleh tidur dengan kaki menghadap ke kiblat?
Jawaban :
Tidak mengapa jika seseorang tidur dan kakinya menghadap kiblat. Bahkan para fuqaha’ rahimahumullah berkata : Orang sakit yang tidak mampu berdiri dan tidak mampu duduk shalat sambil miring menghadap kiblat, dan jika tidak mampu juga maka ia sholat telentang dan kedua kakinya menghadap kiblat. (Fatawa Ibnu Utsaimin 2/976)
Sumber: http://tholib.wordpress.com/2009/11/12/tidur-dengan-kaki-menghadap-ke-kiblat-bolehkah/
http://fadhlihsan.blogspot.com/2012/05/bolehkah-tidur-dengan-kaki-menghadap.html
Hukum Memberi Sumbangan kepada Pengemis/Pengamen
Syaikh yang terhormat, banyak pengamen dan pengemis, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak dari berbagai usia dan penampilan, mereka berkelilling di antara manusia di pasar-pasar, jalan-jalan, masjid-masjid dan tempat-tempat umum lainnya meminta sumbangan dan uluran tangan. Menghadapi seperti situasi ini, banyak orang yang kebingungan, bagaimana menyikapi mereka. Apakah kami harus memberi mereka shadaqah dan zakat? Kami mohon jawaban, semoga anda mendapat pahala dan Allah senantiasa memelihara dan menjaga anda.
Jawaban:
Dalam hal ini hukumnya berbeda-beda tergantung kondisi dan personil masing-masing. Telah diketahui, bahwa banyak di antara para pengamen dan pengemis itu yang sebenarnya bukan orang-orang yang membutuhkan bantuan, bahkan mereka itu orang-orang kaya yang banyak harta, tapi mereka menjadikan hal ini sebagai profesi (mata pencaharian) dan tidak bisa meninggalkannya.
Jika anda melihat pengamen atau pengemis itu laki-laki yang tampak masih kuat dan segar, jangan anda beri, karena ia mampu bekerja seperti para pekerja lainnya. Sedangkan anak-anak, yang bukan pengamen atau pengemis sebenarnya dapat diketahui dari kerapian dan kemantapan penampilan, hal ini menunjukkan bahwa ia menjadikan “meminta-minta” sebagai kebiasaan sehingga terbiasa, bahkan dengan ucapan yang lancar serta hafal do’a-do’a lengkap dengan mimiknya. Adapun wanita, dapat diketahui dari seringnya muncul dan banyaknya bolak-balik.
Yang jelas, jika diketahui bahwa orang yang melakukan itu memang sengaja beroperasi demikian tanpa kebutuhan, maka tangkap dan bawa, lalu serahkan ke lembaga yang menangani masalah pengamen. Wallahu a’lam. [Diucapkan dan didiktekan oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram]
Sumber: http://ummfulanah.wordpress.com/2009/05/22/memberi-sumbangan-kepada-pengemispengamen/
http://fadhlihsan.blogspot.com/2012/06/hukum-memberi-sumbangan-kepada.html
Sabtu, 14 Januari 2012
Seputar Kata ‘Insya Allah’ (Jika Allah menghendaki)
Perkara apa saja yang harus dikaitkan dengan masyi’ah (kehendak Allah)? Dan perkara apa saja yang tidak harus dikaitkan dengan masyi’ah (kehendak Allah)?
Jawab:
Segala sesuatu yang berkaitan dengan masa yang akan datang sebaiknya dikaitkan dengan kehendak Allah Allah, karena Allah berfirman:
وَلا تَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَداً * إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah” (Al Kahfi: 23-24)
Adapun sesuatu yang telah terjadi tidak perlu dikaitkan dengan kehendak Allah kecuali jika maksudnya untuk ta’lil (menyatakan sebab).
Misalnya ada yang berkata bahwa bulan Ramadhan tahun ini telah dimulai pada malam Ahad insya Allah. Maka sebenarnya kita tidak perlu mengucapkan insya Allah, karena Ramadhan telah berlalu dan sudah diketahui
Jika seorang berkata, “Aku mengenakan pakaianku insya Allah” sedangkan dia memang memakainya, maka sebaiknya tidak perlu mengucapkan insya Allah, karena itu sesuatu yang telah berlalu dan selesai, kecuali jika tunjuannya adalah untuk beralasan atau dia memakainya atas kehendak Allah, maka ini tidak apa-apa.
Apabila seseorang berkata ketika telah selesai shalat, “Saya sudah shalat insya Allah,” jika dia memaksudkan tindakan shalatnya, maka ini tidak perlu karena dia telah melaksanakannya, tetapi jika yang dia maksudkan adalah shalat yang makbul, maka boleh saja dia mengatakan ‘insya Allah’, karena dia tidak tahu apakah shalatnya diterima atau tidak diterima.
(Diterjemahkan untuk blog www.ulamasunnah.wordpress.com dari Fatawa Arkanil Islam, soal nomor 35)
Dinukil dari: http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/02/12/seputar-kata-insya-allah-jika-allah-menghendaki/
Hukum Berpuasa di Hari Jum’at
Fadilatusy Syaikh ditanya: Apa alasan dilarangnya pengkhususan hari Jum’at untuk berpuasa? Dan apakah ini khusus untuk puasa sunnah saja atau umum bagi puasa qadha juga?
Maka Asy-Syaikh menjawab:
Telah tsabit dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
“Janganlah kalian khususkan hari Jum’at dengan berpuasa, dan tidaklah pula malamnya untuk ditegakkan (shalat).” (HR. Muslim, Kitabus Shiam Bab Makruhnya Puasa Khusus di Hari Jum’at, 1144)
Hikmah dalam larangan pengkhususan hari Jum’at dengan puasa adalah bahwa hari Jum’at merupakan hari raya dalam tujuh hari (seminggu-ed). Hari Jum’at juga merupakan salah satu hari raya dari tiga hari raya yang disyari’atkan.
Di dalam Islam terdapat tiga hari raya: Hari raya Idul Fitri setelah Ramadhan, Hari Raya Idul Adhha, dan hari raya mingguan yaitu hari Jum’at. Ini merupakan salah satu alasan larangan mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa.
Selain itu hari Jum’at adalah hari di mana sudah sepantasnya bagi seorang laki-laki mengedepankan shalat Jum’at pada hari itu, menyibukkan diri dengan doa, dan berdzikir karena hari Jum’at ini serupa dengan hari Arafah yang tidak disyaratkan bagi jama’ah haji untuk berpuasa pada hari Arafah itu. Hal ini karena dia sibuk dengan doa dan dzikir.
Dan telah diketahui pula bahwa ada ibadah-ibadah yang saling bertabrakan, dan mungkin untuk mendahulukan sebagiannya maka didahulukan ibadah yang tidak bisa ditunda dari ibadah yang bisa ditunda.
Jika seseorang berkata, “Jika alasannya karena hari Jum’at adalah hari raya dalam seminggu, maka ini mengharuskan puasanya haram sebagaimana di dua hari raya yang lain, tidak hanya dengan mengkhususkannya saja.”
Kami katakan, “Sesungguhnya hari Jum’at berbeda dengan dua hari raya tersebut, karena hari Jum’at terulang sampai empat kali dalam sebulan. Oleh karena itu larangannya tidaklah sampai pada derajat haram. Di sana terdapat juga makna-makna lain pada dua hari raya yang tidak ditemukan pada hari Jum’at.”
Download File Kajian keutamaan satu waktu pada hari jumat Ust Askary mp3
http://statics.ilmoe.com/kajian/users/balikpapan/bulughul_maram/keutamaan-satu-waktu-pada-hari-jumat_Ust-Askary.mp3keutamaan satu waktu pada hari jumat Ust Askary mp3 keutamaan satu waktu pada hari jumat Ust Askary keutamaan satu waktu pada hari jumat Ust mp3 keutamaan sa
Adapun jika dia berpuasa di hari sebelumnya atau di hari setelahnya maka puasanya saat itu diketahui bahwa tidak dimaksudkan untuk mengkhususkan hari Jum’at dengan puasa; karena dia berpuasa sehari sebelumnya yaitu Kamis atau sehari sesudahnya yaitu hari Sabtu.
Sedangkan pertanyaan penanya, “Apakah larangan ini khusus untuk puasa sunnah atau umum bagi puasa qadha juga (membayar hutang puasa wajib Ramadhan-ed)?”
Maka sesungguhnya zhahir dalilnya bersifat umum, bahwa hukumnya makruh mengkhususkan puasa. Sama saja apakah untuk puasa yang wajib atau puasa sunnah, Allahumma, kecuali jika orang tersebut bekerja dan tidak punya waktu luang dari pekerjaannya sehingga dia tidak bisa mengqadha puasanya kecuali pada hari Jum’at, maka ketika itu tidaklah makruh baginya untuk mengkhususkan hari Jum’at untuk berpuasa. Ini karena dia memerlukan hal tersebut.
Demikian nukilan dari fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah, bisa dirujuk di halaman 444-445. Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/02/04/hukum-berpuasa-di-hari-jumat/
Hukum Jimat Bertuliskan Ayat Al-Qur’an
Oleh: Asy-Syaikh `Abdul `Azîz bin `Abdullâh bin Bâz rahimahullâh
Apakah termasuk syirik, penulisan penangkal/jimat dari ayat Al-Qur’an dan lainnya, serta menggantungkannya di leher1?
Jawab:
Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ الرُّقَى وَ التَّمَائِمَا وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat, tiwalah2 itu termasuk perbuatan syirik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dan beliau menshahihkannya)
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, demikian juga Abu Ya’la dan Al-Hakim serta ia menshahihkannya dari Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَلا أَتَمَّ اللهُ لَهُ وَمَنْ قَدْ أَرَكَ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلا وَدَعَ اللهُ لَهُ
“Barangsiapa menggantungkan tamimah, maka Allah tidak akan menyempurnakan baginya (urusan)nya dan barangsiapa menggantungkan wad’ah3 maka Allah tidak akan menentramkannya.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkannya melalui jalan lain dari ‘Uqbah bin ‘Amir dengan lafadz:
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa menggantungkan tamimah/jimat maka ia telah berbuat syirik’”
Dan hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Sedang tamimah itu maknanya adalah sesuatu yang digantungkan pada anak-anak atau orang lain dengan tujuan menolak bahaya mata hasad, gangguan jin, penyakit, atau semacamnya. Sebagian orang menyebutkannya hirzan/penangkal, sebagian lagi menamainya jami’ah4. Benda ini ada dua jenis:
Salah satunya: yang terbuat dari nama-nama setan, dari tulang, dari rangkain mutiara atau rumah kerang, paku-paku, symbol-simbol yaitu huruf-huruf yang terputus-putus atau semacam itu. Jenis ini hukumnya haram tanpa ada keraguan karena banyaknya dalil yang menunjukkan keharamannya. Dan itu merupakan salah satu bentuk syirik kecil berdasarkan hadits-hadits tadi serta berdasarkan hadits yang semakna dengannya. Bahkan bisa menjadi syirik besar bila orang yang menggantungkan/memakainya meyakini bahwa benda-benda itulah yang menjaganya atau menghilangkan penyakitnya tanpa izin Allah Subhanahu wa Ta’ala serta kehendak-Nya.
Kedua: sesuatu yang berasal dari ayat-ayat Al-Qur’an atau doa-doa dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semacam itu dari doa-doa yang baik. Untuk jenis ini para ulama berbeda pendapat, sebagian mereka membolehkannya dan mengatakan bahwa hal itu sejenis dengan ruqyah/jampi-jampi yang diperbolehkan.
Sedang sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa itu juga haram. Mereka berhujjah dengan dua hujjah:
Pertama: keumuman hadits-hadits yang melarang jimat-jimat dan yang memperingatkan darinya serta menghukuminya bahwa itu adalah perbuatan syirik. Sehingga tidak boleh mengkhususkan sebagian jimat untuk diperbolehkan, kecuali berdasarkan dalil syar’i yang menunjukkan kekhususan.
Adapun tentang ruqyah, maka hadits-hadits yang shahih menunjukkan bahwa jika dari ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa yang diperbolehkan, maka itu tidak apa-apa, bila dengan bahasa yang diketahui maknanya serta yang melakukan ruqyah tidak bersandar pada ruqyah itu, ia hanya meyakini itu sebagai salah satu sebab. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا
“Tidak mengapa dengan ruqyah selama itu tidak termasuk dari syirik.”
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukannya serta sebagian sahabatnya juga pernah melakukannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
لا رُقْيَةَ إِلا مِنْ عَيْنِ أَوْ حُمَةٍ
“Tidak ada ruqyah melainkan dari (gangguan) mata hasad atau sengatan serangga berbisa.”
Dan hadits-hadits tentang hal ini banyak.
Adapun tentang tamimah/jimat, maka tidak ada sedikit pun dari hadits-hadits yang mengecualikan dari keharamannya. Sehingga, wajib mengharamkan semua jenis jimat/tamimah, dalam rangka mengamalkan dalil-dalil yang bersifat umum.
Kedua: menutup pintu-pintu menuju perbuatan syirik. Ini termasuk salah satu perkara penting dalam syariat. Dan sebagaimana diketahui, bila kita perbolehkan jimat-jimat dari ayat-ayat Al-Qur’an dan doa-doa yang mubah, maka akan terbuka pintu syirik serta akan menjadi rancu antara tamimah yang boleh dan yang dilarang. Serta akan terhambat pemilahan antara keduanya, kecuali dengan rumit. Maka wajib menutup pintu ini dan menutup jalan menuju kesyirikan .
Pendapat inilah yang benar karena kuatnya dalilnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala- lah yang member taufiq.
(Diterbitkan di Majalah Jami’ah Islamiyyah edisi 4 tahun 6 bulan Rabi’ul Akhir tahun 1394H hal. 175-182. Dinukil dari Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah jilid II, Judul: Ijabah ‘an As’ilah Mutafarriqah, haula Kitabati At-Ta’awidz bil Ayat…)
Footnote:
1 Atau di rumah, di toko, di mobil, di kantor, dan lain-lain.
2 Jimat atau semacamnya yang dipakai untuk menumbuhkan rasa cinta seorang wanita kepada lelaki atau sebaliknya, semacam pelet.
3 Sesuatu yang dikeluarkan dari laut, semacam rumah kerang yang berwarna putih, dipakai untuk tolak bala.
4 Di masyarakat kita lebih dikenal dengan jimat.
Sumber: Majalah Asy Syari’ah, Vol.III/No.36/1428H/2007, Kategori: Problema Anda, hal. 66-67. Dinukil untuk http://akhwat.web.id. Silakan mengcopy dan memperbanyak dengan menyertakan url sumbernya.
Memanggil Istri dengan Sebutan Ummul Mukmimin
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Soal:
Sebagian kaum laki-laki menggunakan istilah ummu Al-mu’minin (ibu bagi kaum muslimin) untuk para istrinya. Mereka berkata misalnya, “Saya pergi bersama ummul mu’minin ke tempat keluarganya” atau “Saya memberi ummul mu’minin hadiah” atau yang lainnya. Apakah penggunaan istilah ini untuk istri benar?
Jawaban:
Ini adalah perkara haram. Tidak boleh bagi seorang pun menyebut istrinya dengan sebutan ummul mu’minin karena berarti dengan begitu ia menjadi seorang nabi. Istri-istri yang disifati dengan ummahatul mu’minin (ibu-ibu orang yang beriman) hanyalah para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka, apakah ia (orang yang menggunakan istilah itu -pent) menginginkan kedudukan seorang nabi dan menyatakan diri sebagai nabi? Seharusnya setiap orang menjauhi istilah-istilah semacam ini dan memohon ampun kepada Allah atas apa yang telah ia lakukan.
(Dinukil untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku “Al-Manahi Al-Lafzhiyyah, Beragam Ungkapan dalam Timbangan Syariat” karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin soal ke-22, Penerjemah: Abu Zaid Resa Gunarsa, Muroja’ah: Al Ustadz Ali Basuki, Penerbit: Penerbit Al Ilmu Jogjakarta)
http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/03/14/memanggil-istri-dengan-sebutan-ummul-mukmimin/
Menyandingkan lafzh “ALLAH” dengan “MUHAMMAD”
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Soal:
Sering kita melihat pada dinding tulisan lafazh jalalah “Allah” dan di sampingnya lafazh “Muhammad” atau terdapat pada buku dan sebagian mushaf. Apakah tempat untuk lafazh ini benar?
Jawaban:
Tempatnya tidak benar. Karena, hal ini berarti menjadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai tandingan Allah yang sama dengan-Nya. Jika ada orang yang melihat tulisan ini dan ia tidak tahu nama kedua hal itu, ia akan meyakini bahwa kedua hal itu adalah sama dan serupa. Maka, wajib menghilangkan nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Namun kemudian, perhatian tertuju pada tulisan lafazh “Allah” saja. Ini adalah satu kata yang biasa diucapkan oleh orang-orang sufi sebagai ganti dari dzikir. Mereka biasa mengucapkan “Allah…Allah…Allah” dan tidak “Muhammad”. Maka dari itu, berarti harus dihilangkan juga.
Tidak menulis “Allah” dan tidak juga menulis “Muhammad” pada dinding dan pada media selainnya.
(Dinukil untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku “Al-Manahi Al-Lafzhiyyah, Beragam Ungkapan dalam Timbangan Syariat” karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin soal ke-16, Penerjemah: Abu Zaid Resa Gunarsa, Muroja’ah: Al Ustadz Ali Basuki, Penerbit: Penerbit Al Ilmu Jogjakarta)
http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/03/13/menyandingkan-lafzh-allah-dengan-muhammad/
Bukankah Orang Lain juga Melakukannya?
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Soal:
Sebagian orang berargumen, jika ia dilarang mengerjakan pekerjaan yang menyelisihi syari’at atau etika Islam, dengan mengatakan, “Bukankah orang lain juga melakukan hal ini?” Bagaimana hukumnya?
Jawaban:
Ini bukan hujjah. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (Al-’An’am: 116).
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِين
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” (Yusuf: 103).
Hujjah adalah apa yang difirmankan Allah dan yang disabdakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau apa yang terdapat pada salafus shalih.
(Dinukil untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku “Al-Manahi Al-Lafzhiyyah, Beragam Ungkapan dalam Timbangan Syariat” karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin soal ke-96, Penerjemah: Abu Zaid Resa Gunarsa, Muroja’ah: Al Ustadz Ali Basuki, Penerbit: Penerbit Al Ilmu Jogjakarta)
http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/03/12/bukankah-orang-lain-juga-melakukannya/
Tanya Jawab tentang Manhaj bersama Asy Syaikh Shalih Al Fauzan
Oleh: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
1. S: Sekarang ini banyak sekali jama’ah (kelompok) dengan beraneka ragam nama, apakah dasar penamaan ini? Bolehkah bergabung dengan mereka jika terbebas dari bid’ah?
J: Rasulullah telah mengabarkan dan menjelaskan apa yang harus kita perbuat, tidak ada satu perkarapun yang bisa mendekatkan ummatnya kepada Allah kecuali telah beliau jelaskan dan tidak ada satu perkarapun yang bisa menjauhkan ummatnya dari Allah kecuali telah beliau jelaskan pula. Di antara masalah yang beliau jelaskan adalah apa yang dipertanyakan sekarang ini.
Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya barangsiapa yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak.” -apakah obat penyakit ini- beliau bersabda: “Wajib atas kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin setelahku, peganglah dan gigitlah dengan gigi geraham kalian, hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena semua perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.”
Kelompok yang ada sekarang ini jika sesuai dengan petunjuk Rasulullah dan para shahabatnya khususnya khulafaur rasyidin dan masa yang utama maka kita harus bersama mereka, menisbatkan diri dan beramal dengan mereka. Dan semua kelompok yang menyelisihi petunjuk Rasulullah maka kita harus menjauhinya walaupun mereka menamakan dirinya dengan nama “ahlus sunnah wal jama’ah” karena yang dinilai bukanlah namanya akan tetapi hakikatnya, adapun namanya kadang besar akan tetapi hakikatnya kosong bahkan batil.
Rasulullah bersabda: “Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, Nashara terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan ummatku ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Para shahabat bertanya: “Siapa mereka itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Yaitu orang-orang yang berpegang dengan sunnahku dan sunnah para sahabatku.”
Inilah jalan yang sangat jelas… Jamaah (kelompok) yang mempunyai ciri seperti dalam hadits ini harus kita ikuti, yaitu yang berjalan di atas sunnah Rasulullah dan para sahabatnya, “merekalah golongan yang selamat”. Adapun jamaah yang menyalahi manhaj (jalan) ini dan berjalan di atas manhaj yang lain bukanlah kelompok kita, dan kitapun tidak termasuk golongan mereka, kita tidak akan menisbatkan diri kepada jamaah tersebut.
2. S: Apa pendapatmu tentang jamaah-jamaah yang ada, sebagai hukum ‘Amm (Dasar)?
J: Semua jamaah yang menyelisihi Ahlus sunnah adalah salah, bagi kami tidak ada jamaah kecuali satu yaitu (Ahlus sunnah wal jamaah), maka semua jamaah yang menyelisihi Ahlus sunnah berarti kelompok tersebut menyelisihi manhaj Rasulullah. Kita katakan: “Semua yang menyelisihi Ahlus sunnah adalah ahlul ahwa (ahlul bid’ah) adapun hukumnya dalam kekafiran dan kesesatannya berbeda-beda sesuai dengan besar kecil dan jauh dekatnya perselisihan tersebut.
3. S: Apakah orang yang bergabung dengan kelompok yang ada sekarang ini dianggap sebagai ahlul bid’ah?
J: Sesuai dengan kelompok yang diikutinya… kalau kelompok tersebut menyelisihi Al Qur`an dan As Sunnah maka orang yang bergabung di dalamnya dianggap mubtadi’ (ahlul bid’ah).
4. S: Mana yang lebih keras siksanya orang yang berbuat maksiat atau ahlul bid’ah?
J: Mubtadi’ lebih keras adzabnya, karena bid’ah lebih berbahaya daripada maksiat, bid’ah lebih dicintai syaithan daripada maksiat, karena orang yang berbuat maksiat kadang bertaubat, adapun mubtadi’ jarang sekali kita temukan mereka bertaubat, karena dia menyangka bahwa dirinya di atas kebenaran, berbeda dengan orang yang berbuat maksiat. Adapun mubtadi’ dia menyangka kalau dirinya adalah orang yang taat dan tengah berada di atas ketaatan, karena itulah maka bid’ah -wal ‘iyadzubillah- lebih jelek dari maksiat, oleh karena itu pula salafus shalih mentahdzir (memperingatkan) dan melarang duduk dengan ahlul bid’ah, karena mereka bisa mempengaruhi teman duduknya dan bahaya mereka sangat besar. Oleh karena itulah tidak diragukan lagi bahwa bid’ah lebih jelek dari maksiat, dan bahaya ahlul bid’ah lebih besar atas manusia daripada bahayanya orang berbuat maksiat.
5. S: Apakah boleh kita bergaul dengan kelompok-kelompok tersebut atau harus mengisolir mereka?
J: Jika tujuan bergaul dengan mereka itu adalah untuk mendakwahi mereka, agar mereka berpegang dengan sunnah serta meninggalkan kebiasaannya yang jelek maka ini diperbolehkan, dan termasuk dakwah ke jalan Allah. Adapun jika tujuan berbaur hanya semata ingin bergaul dan bersahabat tanpa mau mendakwahinya maka ini tidak diperbolehkan… Seseorang tidak boleh berbaur dengan orang-orang yang menyelisihi kecuali dalam bentuk yang ada faidahnya, yakni mendakwahi mereka kepada Islam yang benar dan menerangkan al haq kepada mereka dengan harapan mereka kembali kepada Al Haq.
6. S: Apakah ada jeleknya mentahdzir kelompok yang menyelisihi Ahlus sunnah wal jamaah?
J: Kita mentahdzir mereka, dan kita katakan: “Kami akan melazimi jalannya Ahlus sunnah wal jamaah serta meninggalkan orang-orang yang menyelisihi Ahlus sunnah wal jamaah, baik penyelisihannya sedikit ataupun besar, karena kalau kita menganggap remeh orang yang menyelisihi sunnah, mungkin urusannya akan semakin berkembang dan menjadi besar. Tidak diperbolehkan menyelisihi ahlus sunnah selamanya. Wajib mengikuti jalannya Ahlus sunnah wal jamaah baik dalam masalah besar ataupun kecil.
7. S: Apakah ketika mentahdzir harus menyebutkan kebaikan mereka?
J: Jika engkau sebutkan kebaikan mereka maknanya engkau berdakwah untuk membela mereka, jangan… jangan kau sebutkan kebaikan mereka, sebutkan kesalahan yang mereka lakukan saja, karena engkau tidak dibebani menjaga nama baik mereka, akan tetapi engkau bertanggung jawab menjelaskan kesalahan yang mereka lakukan, dengan harapan mereka bertaubat dari perbuatannya, dan memperingatkan orang lain dari kejahatannya.
8. S: Jamaah Tabligh -sebagai contoh- berkata: “Kami ingin berjalan di atas manhaj Ahlus sunnah wal jamaah”, akan tetapi ternyata sebagian mereka melakukan kesalahan, kemudian mereka berkata: “Mengapa kalian menghukumi dan mentahdzir kami?”
J: Telah banyak orang yang pernah ikut pergi bersama mereka dan mempelajari ajaran mereka, kemudian menulis tentang mereka dengan menjelaskan kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam tubuh jamaah tabligh. Kalian harus membaca buku-buku tersebut. Adapun hakikat Jamaah Tabligh banyak ditulis dalam kitab… lihatlah! Nanti kalian akan mengetahuinya, penulisnya adalah orang-orang yang pernah pergi safar dan bergaul dengan mereka, sehingga menulisnya dengan pengetahuan dan di atas kejelasan.
9. S: Apakah kelompok-kelompok yang ada sekarang ini termasuk tujuh puluh dua golongan yang akan masuk neraka?
J: Semua kelompok yang menyelisihi Ahlus sunnah wal jamaah masuk ke dalam tujuh puluh dua golongan, hingga hal ini merupakan celaan dan hukuman sesuai kadar penyelisihan mereka.
10. S: Apakah orang yang menamakan dirinya salafi dianggap hizbiyah?
J: Menamakan diri dengan salafiyah jika secara hakiki tidak mengapa, tapi kalau hanya sekedar akuan semata, tidak boleh dilakukan…, tidak boleh menamakan diri salafiyah kalau tidak berada di atas manhaj salaf. Misalnya Asy’ariyah, mereka berkata: “Kami adalah ahlus sunnah wal jamaah”, sebetulnya pernyataan ini tidak boleh diucapkan oleh mereka, karena yang mereka jalani bukanlah manhaj Ahlus sunnah wal jamaah demikian pula halnya firqah-firqah yang lainnya.
Semua orang mengaku sebagai kekasih Laila, padahal Laila tidak menganggap mereka sebagai kekasih.
Orang yang mengaku dirinya Ahlus sunnah wal jamaah akan mencari ahlus sunnah dan meninggalkan orang-orang yang menyelisihi mereka, adapun kalau dia ingin mencampur antara (Dhab dan nun) -begitu perkataan mereka- menggabungkan antara binatang darat dan binatang laut, tidak mungkin bisa dilakukan, atau menggabungkan air dan api dalam satu telapak tangan. Kesimpulannya: wajib membedakan dan membersihkan perkara-perkara di atas.
11. S: Apa pendapatmu terhadap orang yang berkata: Permusuhan kita dengan Yahudi bukan karena agama, karena Al Qur`an menganjurkan untuk berbaris dan berteman dengan mereka?[1]
J: Ini adalah perkataan keliru dan menyesatkan, Yahudi adalah kaum yang kafir, Allah telah mengkafirkan dan melaknat mereka, Rasulullahpun mengkafirkan dan melaknat mereka.
Allah berfirman: “Orang-orang kafir Bani Israil dilaknat…” (Al Maidah: 78). Rasulullah bersabda: “Allah melaknat Yahudi dan Nashara.” (HR Bukhari Muslim).
——————————————————
[1] Ini adalah ucapan Hasan Albanna pendiri Firqah Ikhwanul Muslimin
(Sumber : Al Ajwibah Al Mufidah, edisi Indonesia “Kedudukan As Sunnah dalam Islam dan Penjelasan Sesatnya Ingkarus Sunnah”, diterjemahkan oleh Abdurahman Mubarak Ata. Pustaka Al Atsari, cetakan pertama, Juni 1998. Diambil dari http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=25)
http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/03/30/tanya-jawab-tentang-manhaj-bersama-asy-syaikh-shalih-al-fauzan/
Bolehkah Menyebut Seseorang dengan Gelar Syahid?
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Soal:
Apakah boleh menggunakan kata “Syahid” atas seseorang, dikatakan, “Asy Syahid fulan”?
Jawaban:
Kita tidak boleh memberi kesaksian bagi siapapun bahwa ia syahid, hingga walaupun orang tersebut terbunuh secara zhalim atau terbunuh karena membela diri. Kita tidak boleh mengatakan fulan syahid. Ini berbeda dengan orang-orang pada hari ini. Mereka mudah memberi kesaksian. Mereka menyebut setiap orang yang terbunuh hingga walaupun seseorang terbunuh karena fanatisme jahiliah, mereka menyebutnya syahid.
Ini haram; karena perkataan kamu tentang seseorang yang terbunuh bahwa ia syahid merupakan kesaksian yang kelak akan dipertanggungjawabkan pada hari kiamat. Kamu akan ditanya apakah kamu memiliki bukti bahwa ia terbunuh dengan syahid? Karena itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
“Tidaklah seorang terluka di jalanAllah –Wallahu a’lam dengan orang yang terluka di jalan Allah- kecuali ia akan datang pada hari kiamat sedang lukanya mengalirkan darah, warnanya warna darah, dan wanginya wangi misk” (Muttafaqun, ‘Alaihi)
Perhatikan perkataan Nabi “Wallahu a’lam dengan orang terluka di jalan Allah”. Sesungguhnya sebagian orang terkadang secara lahir memang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi, akan tetapi Allah mengetahui apa yang tersembunyi dalam hatinya. Apa yang tersembunyi di hatinya kadang berbeda dengan apa yang nampak dari perbuatannya. Karena itu Imam Al-Bukhari membuat bab tentang masalah ini dalam kitab shahihnya, ia berkata, “Bab tidak boleh dikatakan fulan syahid” sebab pusat kesaksian ada dalam hati dan tidak seorangpun yang mengetahui apa yang ada dalam hati kecuali Allah ‘azza wa jalla.
Niat adalah perkara besar. Berapa banyak dua orang yang mengerjakan satu perbuatan yang sama namun antara keduanya seperti langit dan bumi disebabkan karena niat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّياَتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلىَ دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَر إِلَيْهِ
“Sesungguhnya amal-amal tergantung niatnya, sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Barang siapa yang berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrah kepada dunia yang ingin ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia inginkan” (Muttafaqun, ‘Alaihi)
(Dinukil untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku “Al-Manahi Al-Lafzhiyyah, Beragam Ungkapan dalam Timbangan Syariat” karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin soal ke-64, Penerjemah: Abu Zaid Resa Gunarsa, Muroja’ah: Al Ustadz Ali Basuki, Penerbit: Penerbit Al Ilmu Jogjakarta)
http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/03/11/bolehkah-menyebut-seseorang-dengan-gelar-syahid/
Adakah Reformasi Syariat di Dalam Islam?
Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Soal:
Apakah dalam Islam terdapat tajdid tasyri’ (reformasi syariat)?
Jawaban:
Jika ada orang yang berkata bahwa dalam Islam terdapat tajdid tasyri’, maka yang ada justru sebaliknya; Islam telah sempurna dan masa tasyri’ (pembuatan syari’at –ed) telah terhenti dengan wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ya, kejadian dan realita baru terus bermunculan dan pada setiap waktu dan tempat realita selalu terjadi berbeda-beda. Perubahan-perubahan itu seharusnya ditimbang dengan syari’at dan dihukumi sesuai Al Quran dan As Sunnah.
Dengan demikian, hukum tersebut tetap merupakan syari’at yang ada pada awal Islam dan tidak disebut syari’at baru; karena hal yang demikian berarti menganiaya Islam dan bertentangan dengan kenyataan yang terjadi.
Karena itu, tidak boleh juga menyebut istilah “perubahan dalam pensyari’atan’” sebab istilah itu mengandung arti perusakan batas kehormatan dan wibawa syari’at. Mengadakan perubahan pada syari’at tidak sejalan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Yang demikian tidak diridhai oleh seorang pun orang yang berilmu dan beriman.
Kemudian, jika menghukumi sesuatu yang terjadi bukan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, maka syari’at itu adalah batil; bukan termasuk ke dalam bagian syari’at Islam.
Apa yang telah saya sebutkan tidak bertabrakan dengan ketetapan Umar radhiyallahu ‘anhu tentang hukum thalaq tiga, yang sebelumnya dimasa dua tahun dalam masa kepemimpinan Umar, dan masa Rasulullah dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu, terhukumi dengan satu thalaq, karena masalah ini termasuk ke dalam kriteria Ta’zir (hukum yang bersifat peringatan) maka ada perubahan yang sesuai dengan keadaan seseorang sebagai bentuk komitmen yang harus dijalaninya. Karena itu Umar berkata, “Saya melihat orang-orang telah tergesa-gesa dalam perkara yang sebelumnya mereka tenang, maka kami tetapkan hal itu atas mereka” (HR. Muslim 1472/15, dari Ibnu Abbas) maka Umar menetapkan hal itu (tentang thalaq tiga) bagi mereka. Bab al-ta’zir cakupannya luas dalam syari’at, karena yang dimaksud adalah pelurusan dan pengajaran.
(Dinukil untuk http://ulamasunnah.wordpress.com dari buku “Al-Manahi Al-Lafzhiyyah, Beragam Ungkapan dalam Timbangan Syariat” karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin soal ke-40, Penerjemah: Abu Zaid Resa Gunarsa, Muroja’ah: Al Ustadz Ali Basuki, Penerbit: Penerbit Al Ilmu Jogjakarta)
http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/03/10/adakah-reformasi-syariat-di-dalam-islam/
Kenapa Agama kita disebut Islam?
Oleh: Al Lajnah Ad Daimah (Dewan Tetap untuk Riset dan Fatwa)
Soal:
Kenapa agama kita disebut dengan Islam?
Jawab:
Karena seseorang yang memeluk agama ini dia menundukkan wajahnya kepada ALLAH, dia tunduk dan patuh kepada seluruh hukum yang datang dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman,
وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ
Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri. (Al Baqarah: 130)
Allah juga berfirman,
إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah! (berislamlah)” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”.(Al Baqarah: 131)
Allah juga berfirman,
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ
Bahkan Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya (Al Baqarah: 112)
(Diterjemahkan dari Fatwa Lajnah Ad Daimah nomor 7887 untuk blog Konsultasi agama – Ulama Sunnah, http://ulama.co.nr)
http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/03/05/kenapa-agama-kita-disebut-islam/
Menyingkat Shalawat dengan SAW
Oleh: Al Lajnah Ad-Daimah (Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)
Soal:
Bolehkah menulis huruf ص yang maksudnya shalawat (ucapan shallallahu ‘alaihi wasallam). Dan apa alasannya?
Jawab:
Yang disunnahkan adalah menulisnya secara lengkap –shallallahu ‘alaihi wasallam- karena ini merupakan doa. Doa adalah bentuk ibadah, begitu juga mengucapkan kalimat shalawat ini.
Penyingkatan terhadap shalawat dengan menggunakan huruf – ص atau ص- ع – و (seperti SAW, penyingkatan dalam Bahasa Indonesia -pent) tidaklah termasuk doa dan bukanlah ibadah, baik ini diucapkan maupun ditulis.
Dan juga karena penyingkatan yang demikian tidaklah pernah dilakukan oleh tiga generasi awal Islam yang keutamaannya dipersaksikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wabillahit taufiq, dan semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau.
Dewan Tetap untuk Penelitian Islam dan Fatwa
Ketua: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ibn Abdullaah Ibn Baaz;
Anggota: Syaikh ‘Abdur-Razzaaq ‘Afifi;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Ghudayyaan;
Anggota: Syaikh ‘Abdullaah Ibn Qu’ood
(Fataawa al-Lajnah ad-Daa.imah lil-Buhooth al-’Ilmiyyah wal-Iftaa, – Volume 12, Halaman 208, Pertanyaan ke-3 dari Fatwa No.5069)
Diterjemahkan dari http://fatwa-online.com/fataawa/miscellaneous/
enjoiningthegood/0020919.htm untuk http://ulamasunnah.wordpress.com
ulamasunnah.wordpress.com/2008/03/06/menyingkat-shalawat-dengan-saw/
Hukum Menyingkat Salam dengan ASS WR WB
Oleh: Asy Syaikh Wasiyullah Abbas
(Ulama Masjidil Haram, pengajar di Ummul Qura)
Soal:
Banyak orang yang menulis salam dengan menyingkatnya, seperti dalam Bahasa Arab mereka menyingkatnya dengan س- ر-ب. Dalam bahasa Inggris mereka menyingkatnya dengan “ws wr wb” (dan dalam bahasa Indonesia sering dengan “ass wr wb” – pent). Apa hukum masalah ini?
Jawab:
Tidak boleh untuk menyingkat salam secara umum dalam tulisan, sebagaimana tidak boleh pula menyingkat shalawat dan salam atas Nabi kita shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak boleh pula menyingkat yang selain ini dalam pembicaraan.
Diterjemahkan dari www.bakkah.net untuk http://ulamasunnah.wordpress.com
http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/03/06/hukum-menyingkat-salam-dengan-ass-wr-wb/
Antara Ucapan “Syukron” (Terimakasih) dan Jazakallahu Khairan
Oleh: Asy Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi
Soal:
Apa hukumnya mengucapkan, “Syukran (terimakasih)” bagi seseorang yang telah berbuat baik kepada kita?
Jawab:
Yang melakukan hal tersebut sudah meninggalkan perkara yang lebih utama, yaitu mengatakan, “Jazaakallahu khairan (semoga ALLAH membalas kebaikanmu.”
Dan pada Allah-lah terdapat kemenangan.
Sumber: Fath Rabbil-Wadood Fil-Fataawaa war-Rasaa’il war-Rudood 1/68, no. 30
Diterjemahkan dari http://fatwaislam.com/fis/index.cfm?scn=fd&ID=534 untuk blog ulamasunnah.
http://ulamasunnah.wordpress.com/2008/03/05/antara-ucapan-syukron-terimakasih-dan-jazakallahu-khairan/
Apakah Saudi Arabia Loyalis Amerika
Oleh: Asy Syaikh Shalih bin Muhammad Al Luhaidan (Ketua Majlis Qadha’ A’la [Saudi Arabia])
Penanya: “Syaikh, kami memiliki beberapa pertanyaan. Kami minta izin kepada Anda untuk menyebarkannya.”
Pertama ada pertanyaan yang berbunyi :
“Kami mendengar di sebagian media adanya celaan kepada negeri kita ini (Saudi ) dan pemerintahnya, khususnya di akhir-akhir ini. Hal ini terjadi setelah (kejadian) Israel menyerang Libanon. Beberapa komentar sangat kelewatan hingga mereka menjadikan negara Saudi, Israel dan Amerika adalah satu kelompok. Semuanya kafir dan saling berwala’ (berloyalitas).
Maka apa komentar anda, sebab kami mengetahui bagaimana pemerintah kami mencintai Islam dan kaum Muslimin? (Pemerintah kami) juga mendakwahkan Islam yang benar lagi murni, bahkan diantara mereka (pemerintah) dan para ulama saling memberi nasihat dan musyawarah dalam agama.
Maka jawab beliau:
Kekufuran itu adalah kalimat klasik yang biasa mereka lontarkan. Yang mereka ucapkan tidak lain adalah dusta. Tidak diragukan lagi bahwa kerajaan Saudi Arabia adalah yang menjadi target untuk diganggu oleh Amerika…
Bukankah mereka telah menekan lembaga-lembaga sosial dan berambisi untuk menghentikan dan membekukan bantuan (kaum muslimin untuk muslimin).
(Amerika) menghalangi usaha-usaha baik mereka (Arab Saudi) –semoga Allah melenyapkan kepongahannya (Amerika) dan menghancurkan kekuatannya-. Bukankah mereka menuduh para pembesar (negeri ini) bahwa mereka mendanai terorisme?! Yaitu apa yang mereka salurkan berupa sedekah untuk orang-orang fakir dari kaum muslimin dan yang mereka perbantukan kepada yayasan-yayasan sosial dalam mengajarkan ilmu.
Maka yang mengatakan bahwa Saudi bersama Yahudi dan Amerika, tidak lain hal itu diucapkan oleh orang yang di hatinya ada kedengkian terhadap aqidah ini dan para pembawa serta pembelanya. Kedengkian-kedengkian itu hanya akan menjerumuskan pelakunya ke lembah kehinaan dan kejelekan.
Tidak diragukan lagi… bahwa di dunia Islam tidak ada negara yang bisa memberikan bantuan melalui badan-badan dan lembaga-lembaga sosial seperti yang dilakukan oleh negara ini , baik atas nama pemerintah ataupun pribadi.
Saya tidak suka kalau disebut “Israil (yang membantai-pent)”, sebab Israil adalah nama lain dari Nabi Allah, Ya’qub alaihissalam.
Adapun mereka, (yang membantai), adalah famili para babi dan monyet…
Tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah Yahudi, bukan Israil. Tapi mereka menggunakan nama itu. Kemudian menjadi kesalahan dari ummat ini, baik itu negara Islam atau yang menjadikan Islam sebagai simbolnya menamakan mereka dengan nama Israil.
Negara Yahudi menamakan dirinya dengan Israil, yakni di atas dasar keyahudian.
Dan tidak diragukan lagi bahwa setiap orang yang berakal di dunia ini, apakah dari Nashrani di Barat ataupun orang kafir di Timur, melainkan dia tahu bahwa Amerika sangat gigih untuk melecehkan dunia Islam – diantaranya termasuk Arab Saudi-.
Namun – dengan pertolongan Allah sajalah – dikarenakan kita berpegang teguh kepada agama kita yang benar dan kita menggigitnya – dengan gigi geraham kita – secara jujur, serta kita mengikhlaskan amal kita untuk Allah. Maka Allah menolong hamba-hambanya yang beriman. Tidak ada penyebab terlambat datangnya pertolongan Allah melainkan karena kehinaan hamba-hamba-Nya tersebut, yakni disaat mereka menyia-nyiakan agamanya.
Maka kita mohon kepada Allah agar menampakkan kekuasaan-Nya -dengan segera tanpa ditunda- atas Amerika yang akan membahagiakan kaum mukminin…Iya.”
Penanya: “Jazakallahu khairan, Syaikh.”
Ada penanya berkata:
“Syaikh Shalih bin Muhammad Al Luhaidan yang mulia, semoga Allah menjaga Anda dan membimbing Anda. Tidak tersamarkan atas Anda berbagai kondisi yang dialami kaum muslimin di dunia Islam, terjadi berbagai fitnah dan peperangan. Khususnya peperangan yang terjadi antara Yahudi dan kelompok Hizbullah yang merupakan kelompok Syi’ah di Libanon. Maka apa sikap seorang muslim terhadap peperangan ini?
Sebab kita mendengar adanya ajakan untuk berjihad bersama mereka dan mendo’akan kemenangan untuk mereka ketika qunut.
Kaum muslimin menjadi bingung terhadap hal ini. Maka apa pengarahan dari Anda?”
Jawab:
“Tidak diragukan lagi bahwa kelompok yang menamakan dirinya dengan Hizbullah (kelompok Allah-pent) adalah Hizbur Rafidhah (kelompok rafidhah). Dan Rafidhah telah diketahui (kesesatannya-pent) dan telah diketahuinya (sesatnya) manhaj metode mereka. Hakikat mereka adalah mereka menganggap mayoritas Ahlus Sunnah…(bahwa-pent) semua Ahlus Sunnah adalah orang kafir. Inilah mereka dan perkara ini tidaklah samar bagi orang yang menelaah buku-buku mereka.
Maka kita berlindung kepada Allah, jika kebenaran menolong dan membela mereka serta membantu mereka, hal itu akan membuat mereka semakin kuat. (Ingatlah) mereka bagian dari Iran. Tidak ragu lagi (benarnya-pent). Hanya saja ucapan pemimpin Mesir, bahwa Syi’ah yang ada di negara itu berbeda dengan Iran. Sesungguhnya kecondongan dan Iman mereka bersama Iran.
Namun manusia jika mereka ditimpa musibah, hendaknya mereka berusaha untuk mengobatinya dengan apa yang tepat dijadikan sebagai obat berbagai kondisi tersebut.
Adapun apa yang menimpa Libanon secara umum, kalau tidak bisa dikatakan semua, dalangnya adalah kelompok ini. Mereka yang menamakan dirinya dengan kelompok Allah (Hizbullah), sebenarnya mereka adalah Hizbusy Syaithon (Kelompok/Partai Setan) ! Sekian.
Transkrip dalam bahasa Arab
———————————————————————————-
كلام الشيخ حفظه الله ورعاه
يقول السائل : نسمع في بعض الوسائل الإعلامية حملة شرسة على هذه البلاد وحكومتها وخاصة في هذا الأيام وبعد هجوم إسرائيل على لبنان ، بلغ ببعض المتكلمين إلى أن جعل السعودية وإسرائيل وأمريكا شيء واحد كلهم كفرة يوالي بعضهم بعضا . فما قول سماحتكم ، لا سيما ونحن نعلم ما عليه حكومتنا من حب للإسلام والمسلمين ، وما هي عليه من دعوة للإسلام الصحيح الصافي وما بينهم وبين علمائنا من تناصح وتشاور في الدين ؟
فـأجاب حفظه الله :
الكفر كلمة تخرج من أفواههم إن يقولون إلا كذبا لاشك أن المملكة العربية السعودية مقصودة بالإيذاء من أمريكا ، ألم يحملوا على جمعيات الخير ويحرصوا على إيقاف مدد ومد الإحسان من المملكة ويتعرضوا في أروقتهم العالية نزل الله علوها وهدم أسوارها ، ألم يتكلمون على كبار …..بأنهم يدعمون الإرهاب ، يعني ما يبذلون من الصدقات لفقراء المسلمين وما يساعدون به الجمعيات الخيرية في التعليم .لا يقول هذا عن السعودية وأنها مع اليهود والكفار أيضا من الأمريكين إلا من في قلبه حقد على العقيدة وحامليها والمدافعين عنها ، والأحقاد تتبع أهلها للرذائل والقبائح . لاشك أن لا دولة في العالم تمد مراكز الخير وجمعيات الهداية والهدى كما تفعل المملكة من الحكومة ومن أفراد المملكة .
وأنا أكره أن يقال إسرائيل لأن إسرائيل نبي الله يعقوب ، أما هؤلاء فهم إخوان الخنازير والقردة , لاشك أنهم هم اليهود لكنهم ليسوا بإسرائيل وإنما سموا أنفسهم ثم إن هذه التسمية يعاب على الأمة الإسلامية أن تقول الدولة الإسلامية أو جعل علامتها أنها إسلامية ودولة اليهود يسمون إسرائيل يعني على أساس اليهودية ، لا يمكن في الدنيا كلها من عاقل لا من النصارى في الغرب ولا من الكفارأيضا في الشرق إلا ويعلم أن أمريكا تسعى جاهدة لإذلال العالم الإسلامي أجمع بما فيه السعودية ، ولكن بحول الله إن تمسكنا بديننا حقا وعضينا عليه بالنواجد صدقا وأخلصنا لربنا العمل فإن الله ناصر عباده المؤمنين ولا يتخلف نصره إلا بخذل العباد إذا فرطوا في دينهم .
فنسأل الله أن يرينا عاجل غير آجل في أمريكا ما يسر به المؤمنون . نعم .
السائل : جزاك الله خيرا فضيلة الشيخ يقول السائل فضيلة الشيخ صالح بن محمد اللحيدان حفظك الله ورعاك : لا يخفى على سماحتكم أوضاع المسلمين في العالم الإسلامي وما فيه من فتن وحروب وخاصة ما يدور بين اليهود وحزب الله المتمثل للفئة الشيعية في لبنان فما موقف المسلم من هذه الحرب ؟ نسمع من يدعو للجهاد معهم وآخر يدعو لهم في القنوت فأصبح المسلمون في حيرة من أمرهم ، فما رأي سماحتكم ؟
فأجاب حفظه الله :
لا شك أن ما يسمى بحزب الله هو حزب رافضي ، والرافضة معلومون ومعروف منهجهم ، حقيقتهم أنهم يرون عامة أهل السنة ، جميع أهل السنة كفار وهذا شيء غير خاف على من اطلع على كتبهم ، فمعاذ الله أن يكون الحق بشد أزرهم ومناصرتهم وإمدادهم بما يقوي شوكتهم ، هو جزء من إيران ولاشك ، إنما قولة رئيس مصر أن الشيعة في البلاد من غير إيران ، إنما هواهم وميلهم ، إنما إيمانهم مع إيران لكن الناس إذا ابتلوا يسعون إلى معالجة الوضع على وفق ما يمكن أن تعالج عليه الأوضاع ، جل أفراد لبنان إن لم يكن كلهم سببه هذا الحزب الذي يسمى حزب الله وهو حزب الشيطان
انتهى كلامه حفظه الله
———————————————————————————-
(Fatwa ini adalah kutipan fatwa suara syaikh Shalih Al Luhaidan ketika menjawab dua pertanyaan saat Daurah Imam Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah. URL Sumber http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=337317. Fatwa ini diterjemahkan oleh Al Ustadz Abu Mu’awiyah Muhammad Ali bin Ismail al Medani)
http://haulasyiah.wordpress.com/2009/01/09/apakah-saudi-arabia-loyalis-amerika/
Jumat, 13 Januari 2012
Amrozy, Imam Samudra, Mukhlas : Mati Syahid ?
Soal:
Syaikh yang mulia, beberapa hari yang lalu telah dijalankan hukuman eksekusi terhadap orang-orang yang melakukan peledakan di kota Bali, Indonesia, enam tahun silam. Telah terjadi fitnah setelahnya terhadap banyak manusia, dimana penguburan jenazah mereka dihadiri oleh sejumlah manusia yang sangat banyak. Mereka juga memastikan pelbagai kabar gembira tentang jenazah yang telah dieksekusi tersebut berupa, senyuman di wajah mereka setelah eksekusi, wewangian harum yang tercium dari jenazah mereka, dan selainnya. Mereka mengatakan pula bahwa itu adalah tanda mati syahid, dan perbedaan antara hak dan batil pada hari penguburan jenazah. Apakah ada nasihat bagi kaum muslimin secara umum di negeri kami? wa Jazâkumulâhu Khairan.
Bismillahirrahmanirrahim,
‘Amma Ba’du,
Bukanlah suatu hal yang aneh pada kalangan awam dan mereka yang tidak memiliki pemahaman terhadap As-Sunnah akan terjadi pada mereka seperti yang tersebut dalam pertanyaan, saat mereka mengiringi jenazah (para pelaku pengeboman) yang dieksekusi oleh pemerintah Indonesia. Orang-orang tersebut dieksekusi, lantaran perbuatan mereka menghilangkan harta benda dan nyawa, (dan ini) adalah perbuatan kaum Khawarij yang mengkafirkan kaum muslimin karena dosa, baik dilakukan oleh pemerintah maupun rakyat.
Siapa yang memahami As-Sunnah, maka ia akan mengetahui bahwa eksekusi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap mereka adalah perkara yang sangat tepat dan kebenaran semata.
Siapa yang mengetahui sejarah kaum Khawarij semenjak masa shahabat dan sepanjang perguliran masa ke masa, maka akan nampak baginya bahwa apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang dieksekusi itu adalah perbuatan khurûj (pembangkangan, kudeta) terhadap pemerintah muslim dan pelanggaran terhadap pelbagai kehormatan, berupa nyawa yang terjaga dan harta. Bahkan perbuatan kaum Khawarij pada hari ini adalah bentuk dari perbuatan kaum bathiniyah.
Di antara perbuatan kaum bathiniyah adalah, beberapa masa yang lalu mereka menduduki Baitul Haram dan menumpahkan darah-darah yang terjaga serta mengambil Hajar Aswad, sehingga menghilang dari kaum muslimin sekian lama, sebab mereka membawanya ke Baghdad atau tempat lain –sebagaimana yang diberitakan-.
Berikut ini adalah nasihat dariku kepada saudara-saudaraku dan anak-anakku, yaitu kaum muslimin di Indonesia –semoga Allah menjaga negara mereka dan negara kami dari setiap keburukan dan kejelekan- dalam dua hal:
Pertama, tentang keterangan yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang mutawatir dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang celaan terhadap kaum Khawarij sepanjang masa, abad dan tahun –selama-lamanya-, serta cercaan dan kemurkaan atas mereka.
Beliau menggelari mereka bahwa “Mereka adalah anjing-anjing neraka”, “Mereka adalah orang-orang bodoh yang baru tumbuh” dan “Mereka berbicara dari ucapan manusia terbaik, akan tetapi mereka keluar dari Islam seperti tembusnya anak panah dari buruannya.”
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam (juga) memerintahkan untuk membunuh dan memerangi mereka. Beliau bersabda, “Mereka adalah seburuk-buruk makhluk dan yang paling buruk tabiatnya”, “Mayat mereka adalah seburuk-buruk mayat di kolong langit”, “Berbahagialah orang yang membunuh mereka dan dibunuh oleh mereka”, “Kalau aku dapati mereka, niscaya aku akan binasakan mereka seperti binasanya kaum ‘Ad dan Iram”.
Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saat terjadinya perpecahan di antara kaum muslimin, akan keluarlah di antara mereka mâriqah [1] yang akan diperangi oleh kelompok yang paling dekat dengan kebenaran, kemudian kelompok yang berada di atas kebenaran tersebut dapat membasmi mereka.”
Benarlah sabda beliau ini. Penduduk Nahrawan di Irak melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan ‘Ali radhiyallâhu ‘anhu. Perang terhadap mereka saat itu di bawah pimpinan ‘Ali radhiyallâhu ‘anhu bersama para tokoh Islam dari kalangan shahabat dan tabi’in.
‘Ali dan para shahabatnya radhiyallâhu ‘anhum (berada di atas) kebenaran dalam memerangi kaum Khawarij, sebagaimana faksinya lebih dekat kepada kebenaran dari faksi Mu’awiyah dan para shahabatnya radhiyallâhu ‘anhum.
Kedua, wajib atas setiap muslim untuk membenci kaum Khawarij, dan membantu pihak berwajib untuk membongkar kedok mereka. Sebab, menutupi dan tidak menunjukkan markas dan (kamp) konsentrasi mereka adalah membantu mereka dalam dosa dan permusuhan. Tidak bisa terlepas tanggung jawab seorang muslim yang mengetahui rencana dari perencanaan yang membahayakan ahlul Islam berupa pembunuhan jiwa, baik yang terjaga dengan Islam karena sebagai pemeluknya, atau terjaga dengan Islam karena hubungan perjanjian. Yang kami maksud dengan terjaga dengan Islam karena perjanjian adalah kaum kuffar yang tinggal di tengah-tengah kaum muslimin, baik sebagai pekerja atau penduduk. Mereka mendapatkan perlindungan, perjanjian dan keamanan dari pemerintah yang muslim.
Jangan bersimpati kepada mereka dengan melakukan demonstrasi, keluar ke jalan-jalan (membentuk) konsentrasi massa, atau penghujatan di media massa , baik koran, radio, televisi atau selainnya.
Tidak ada yang menggelari mereka dengan syuhada (orang yang mati syahid), kecuali dua jenis manusia:
Pertama, orang bodoh yang tidak memiliki pemahaman terhadap As-Sunnah yang dapat membedakan antara petunjuk dan kesesatan, antara hak dan batil, dan antara sunnah dan bid’ah.
Kedua, Pengekor hawa nafsu dan orang-orang sesat yang menyimpang dari As-Sunnah. Mereka melakukan demontrasi, penghujatan, konsentrasi massa, dan memuji kaum Khawarij yang menyimpang tersebut.
Di antara upaya mereka untuk memuji mereka adalah menyebutkan karamah –sebagaimana tersebut dalam pertanyaan-. Ini termasuk kedustaan, kebohongan, bahan tertawaan manusia, anjuran terhadap bid’ah, menyebarkan kesesatan, membungkam As-Sunnah dan mengangkat bid’ah serta membantu para pelakunya.
Mereka tidak diterima persaksiannya, sebab mereka adalah musuh Ahlus Sunnah. Di antara prinsip dasar dan pokok orang-orang tersebut adalah bolehnya berdusta dalam membela mereka dan membantu penyebaran kebatilan mereka.
Hati-hati dan berhati-hatilah, wahai kaum muslimin dan muslimah, saudara dan saudari kami serta anak-anak kami di Indonesia, untuk tidak tertipu dengan mereka.
Saya nasihatkan pula kepada ahlul ilmi di negeri kalian untuk segera menyingkap kesesatan ini dan membantahnya dengan ilmu yang dibangun diatas Al-Qur`ân dan As-Sunnah.
Inilah yang dapat aku sampaikan sebagai jawaban dari pertanyaan yang datang kepada kami dalam majalah An-Nashihah yang terbit di Makassar, Sulawesi (Selatan) di Indonesia –semoga Allah menjaga negeri ini dan seluruh negeri kaum muslimin dari setiap keburukan dan kejelekan-. Juga aku memohon kepada-Nya Jalla wa ‘Alâ agar menyatukan para pemimpin dengan rakyatnya di atas apa yang diridhai-Nya terhadap hamba-Nya dari keislaman dan As-Sunnah.
Syaikh ‘Ubaid bin Abdillah Al-Jabiry
http://ghuroba.blogsome.com/2008/12/14/amrozy-imam-samudra-mukhlas-mati-syahidkah/
Wajibkah Bermahdzab ?
- Apa hukum bermadzhab (4 imam)?
- Apakah Al-Imam Al-Bukhariy mempunyai madzhab (mengikuti salah satu madzhab)?
Bahkan para imam yang empat tersebut, baik Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal, semuanya sepakat melarang taqlid kepada mereka.
Walaupun demikian, semua kaum muslimin sepakat bahwa mereka adalah para ulama, orang-orang yang mulia, yang patut dijadikan teladan. Bahkan kita mempelajari Dinul Islam melalui bimbingan mereka dari kitab-kitab yang telah mereka tulis.
2. Demikian pula Al-Imam Al-Bukhariy, beliau tidak bermadzhab dengan madzhab apapun kecuali madzhabnya ahlul hadits yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah, walaupun beliau termasuk salah seorang muridnya Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Yang sesuai dengan dalil, maka itulah yang beliau ikuti. Wallaahu A’lam.
http://ghuroba.blogsome.com/2008/12/22/wajibkah-bermahdzab/#more-332
Hukum Sutra Sintetis
Soal: Apakah hukum memakai sutra sintetis, sebagaimana yang Anda ketahui bahwa banyak pakaian yang terbuat dari sutra sintetis semacam ini. Dan apakah sutra yang tidak boleh dipakai (oleh laki-laki-ed) itu hanya sutra alami saja?
Jawab:
Tidak mengapa mengenakan apa yang disebut sebagai sutra sintetis, karena yang diharamkan adalah sutra alami yang berasal dari ulat sutra.
Wabillahit taufiq, semoga shalawat dan salam tercurah pada nabi kita Muhammad, sahabat dan para pengikutnya.
Al Lajnah Ad Daimah:
Ketua: Abdul Aziz bin Baaz
Wakil Ketua: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudyaan
(Diterjemahkan untuk blog http://ulamasunnah.wordpress.com dari Fatwa Al Lajnah Daimah nomor 10656)
http://ulamasunnah.wordpress.com/2011/03/31/hukum-sutra-sintetis/
Kamis, 12 Januari 2012
Hukum Vetsin
Tanya : Assalaamu’alaikum, mau bertanya, boleh tidak memasak dengan menggunakan penyedap rasa yang mengandung vetsin dan semacamnya?
Jawab : Wa’alaykumussalam warohmatullah wabarokatuh.
Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal sampai ada dalil yang menyatakan haramnya.
Allah -Ta’ala- berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian,” (QS. Al-Baqarah: 29)
Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu -termasuk makanan- yang ada di bumi adalah nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah halal dan boleh, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali yang halal dan baik.
Dalam ayat yang lain:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang kalian terpaksa memakannya.” (QS. Al-An’am: 119)
Artinya, semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari’at berarti adalah halal .
Maka, makanan apa saja adalah halal, sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya. Dan makanan apa saja yang diharamkan oleh syari’at, baik karena dzatnya yang jelek, atau karena bisa membahayakan tubuh dan akal, atau karena diperoleh dari cara yang haram, maka memakannya juga adalah haram, wallahu Ta’ala A’lam.
(Dijawab oleh Ust. Hammad Abu Mu’awiyah.)
http://almakassari.com/category/tanya-jawab
Menyentuh Kemaluan Membatalkan Wudhu?
Tanya : Apakah menyentuh kemaluan dengan sengaja membatalkan wudhu’ ? ( abu abdillah – almandxxx@telkom.net)
Jawab:
Secara umum ada dua hadits masyhur, yang dipakai berdalil oleh para ulama dalam masalah ini, yaitu:
1. Hadits Busroh bintu Shafwan -radhiyallahu anhu-, bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- bersabda:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
"Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaknya dia berwudhu." (HR. Ahmad: 6/406 dan 407, Abu Daud no. 181, At-Tirmidzi no. 82, An-Nasa`i no. 163, dan Ibnu Majah no. 479)
Hadits ini dishohihkan oleh Imam: Ahmad, Yahya bin Ma’in, At-Tirmidzi, Al-Baihaqi, dan yang lainnya -rahimahumullah-.
2. Hadits Tholq bin Habib -radhiyallahu anhu-, bahwa beliau bertanya kepada Nabi -Shallallahu alaihi wasallam- mengenai seseorang yang menyentuh kemaluannya di dalam shalat, apakah wajib baginya untuk berwudhu? Maka beliau menjawab:
لاَ, إِنَّمَا هُوَ بِضْعَةٌ مِنْكَ
"Tidak perlu, dia hanyalah bagian dari tubuh kamu." (HR. Ahmad: 4/23, Abu Daud no. 182 dan 183, At-Tirmidzi no. 85, An-Nasa`i no. 165, dan Ibnu Majah no. 483)
Haditsnya dishahihkan oleh Imam: Amr bin Ali Al-Fallas, Ali ibnul Madini, Ath-Thahawi, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahumullah-.
Kedua hadits di atas, zhohirnya bertentangan. Karenanya, lahir perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini karena perbedaan dalam memahami kedua hadits di atas.
Sebagian mereka lebih menguatkan hadits Busroh dan menganggap hadits Tholq adalah hadits yang mansukh, sehingga mereka mengatakan bahwa menyentuh kemaluan merupakan pembatal wudhu. Ini adalah madzhab Syafi’iyah, Hanabilah, dan Zhahiriyah.
Sebagian lainnya lebih menguatkan hadits Tholq, sehingga mereka berpendapat bahwa menyentuh kemaluan bukanlah pembatal wudhu, sehingga tidak perlu berwudhu jika melakukannya. Ini merupakan madzhab Hanafiyah.
Kedua pendapat ini lemah. Karena sepanjang kedua haditsnya shahih, maka tidak boleh mengambil salah satunya lalu meninggalkan yang lainnya, selama kedua hadits itu masih bisa dikompromikan. Dan itulah yang terjadi di sini.
Sebagian ulama mengompromikannya dengan menyatakan bahwa: Jika dia menyentuh kemaluannya dengan syahwat maka membatalkan wudhu. Jika tidak, maka tidak membatalkan. Ini merupakan pendapat sebagian Malikiyah
Dan pendapat yang keempat menyatakan bahwa: Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka wudhunya tidak batal, hanya saja disunnahkan baginya untuk mengulangi wudhunya, tapi tidak wajib. Ini adalah pendapat Imam Malik –dalam satu riwayat, dan inilah -wallahu A’lam- pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran. Pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.
[Lihat: Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd hal. 28-29 dan Asy-Syarhul Mumti' karya Syaikh Ibnu Utsaimin: 1/279-284]
(Dijawab oleh Ust. Hammad Abu Mu’awiyah)
http://almakassari.com/tanya-jawab/menyentuh-kemaluan-membatalkan-wudhu.html
Hukum Mengadopsi Anak Zina
Tanya:
Assalaamu’alaikum ust,
Ana ingin bertanya beberapa soalan berkenaan anak angkat dan ibu susuan:
a)Apakah dibolehkan mengambil anak angkat dari hasil penzinaan dimana si ibu tidak mampu menjaga anak itu?
b)Bolehkah seorang wanita memakan pil dari doktor untuk memperbanyakkan susunya supaya ia boleh menjadi ibu susuan kepada anak angkatnya?
c)Siapakah yang berhak atas anak yang lahir dari perzinaan, ibu kandungnya atau ibu angkat/ibu susuannya?
“Ibnu Ismail”
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah.
1. Ia boleh, bahkan itu termasuk perbuatan yang terpuji kalau memang ibu kandungnya tidak bisa merawatnya. Hanya saja anak itu tidak akan bisa menjadi mahramnya kecuali melalui jalur syar’i, yaitu dengan disusui sehingga dia menjadi anak susuannya. Adapun keberadaan dia sebagai anak zina maka dosa ibunya tidaklah menyebabkan dia boleh diperlakukan seenaknya, karena seorang tidak menanggung dosa yang tidak dia lakukan.
2. Boleh saja, dengan syarat pil tersebut tidak menimbulkan mudharat baginya dan tentunya harus ada izin dari suaminya.
3. Jika ibu kandungnya bisa merawat anaknya dengan baik, baik dari sisi ekonomi maupun akhlaknya ke depan, maka tentu saja ibu kandungnya lebih berhak untuk merawat karena dia merupakan darah dagingnya sendiri.
Demikian, wallahu Ta’ala a’lam.
http://al-atsariyyah.com/hukum-mengadopsi-anak-zina.html
Hukum Anak ‘Haram’
Tanya:
Bismillah,
Assalamu’alaikum warohmatulloh wabarokatuh
Ya Ustadz, ana mau tanya berkenaan dengan nasab. Begini:
Ibu ana pernah cerita sama ana, kata beliau, ketika menikah sama bapak ana dulu, mereka menikah tanpa wali. beliau mengakui bahwa menikahnya dengan bapak ana adalah dengan cara “kawin lari”.
Setelah mengetahui hal itu, ana kemudian bilang sama ibu ana agar menikah lagi sama bapak karena sebenarnya mereka belum sah nikahnya. beliau sebenarnya mau, tapi bapak ana yg gak mau.
Nah, yg ingin ana tanyakan. Pertama, masalah nasab ana ini gimana, ya Ustadz. Di blog ana, ana menuliskan fulan bin fulan (yakni nisbah kepada ayah). Apakah hal ini dibenarkan? Sedang ana terlahir sebagai “anak haram”. Bolehkah nasab kepada ibu? Misalnya seperti shahabat abdulloh bin ummi maktum yang nasab ke ibu, bukan bapak. Mohon petunjuknya ya Ustadz.
Yg kedua bagaimana solusinya biar orang tua ana bisa “resmi” menikahnya. sedang dari pihak bapak nggak mau, ya mungkin alasannya “malu”, begitu.
Demikian, atas jawabannya ana ucapkan jazakallohu khoiron katsiron wa barokallohufiikum.
[mohon maaf pertanyaan telah kami edit, serta nama dan email penanya tidak kami tampilkan, semuanya guna menjaga privasi penanya, (admin)]
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa menikah tanpa wali (bagi wanita) adalah haram dan tidak syah sehingga dia dihukumi perzinahan. Karenanya anak yang terlahir dari pernikahan seperti itu adalah anak zina, dan nasabkan dikembalikan kepada ibunya, bukan kepada ayahnya. Ini berdasarkan hadits Aisyah dan Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (yakni: anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina adalah batu (yakni: tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hanya saja jika ‘kawin lari’ ini dilakukan karena mereka meyakini bolehnya atau meyakini syahnya ‘kawin lari’, maka pernikahan seperti ini dikategorikan ke dalam nikah syubhat. Dan hukum anak yang lahir dari pernikahan syubhat seperti ini bukanlah anak ‘haram’ akan tetapi syah sebagai anak dari ayah dan ibunya, karenanya dia bisa menisbatkan namanya kepada ayahnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Asy-Syafi’i, dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah dan Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumullah- dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/641).
Adapun setelah mengetahui bahwa hukum ‘kawin lari’ adalah tidak syah, maka keduanya (ayah dan ibunya) wajib untuk berpisah lalu keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim (satu kali haid). Ini adalah fatwa dari Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Mar’i -hafizhahullah-.
Kembali ke pertanyaan antum: Apakah boleh bernisbat kepada ibu?
Jawab: Jika ‘kawin lari’ orang tua antum termasuk dari nikah syubhat maka tidak ada masalah antum bernisbat kepada ayah. Jika bukan termasuk nikah syubhat, yakni keduanya sudah mengetahui tidak syahnya ‘kawin lari’ maka antum tidak boleh bernisbat kepada ayah tapi hanya bernisbat kepada ibu, berdasarkan hadits Abu Hurairah dan Aisyah di atas.
Adapun keengganan ayah untuk menikah kembali, ana kira bisa dimaklumi karena dia mengira nikah ulang itu harus adakan nikah dengan mengundang banyak orang plus resepsi lagi. Tapi saya kira antum sudah mengetahui bahwa yang menjadi rukun dan syarat syahnya nikah hanyalah adanya kedua mempelai, adanya ijab qabul, keridhaan kedua mempelai, wali bagi wanita, mahar, dan 2 orang saksi dari kalangan lelaki dewasa. Jadi kapan rukun dan syarat nikah ini terpenuhi maka nikahnya sudah syah walaupun tidak ada resepsi dan tidak mengundang orang lain. Jadinya antum tinggal memahamkan ayah antum akan masalah ini, semoga dia bisa paham. Dan antum juga bisa mengingatkan bahwa jika dia tidak mau menikah maka anak-anaknya adalah anak ‘haram’ dan bukan anaknya sehingga akan berlaku padanya hukum:
a. Dia dan anak-anak istrinya (karena anak-anak dinisbatkan kepada ibunya) tidak saling mewarisi.
b. Dia tidak wajib memberi nafkah kepada anak istrinya.
c. Dia tersebut bukan mahram bagi anak wanita istrinya.
d. Dia tidak bisa menjadi wali bagi anak wanita istrinya dalam pernikahan.
Wallahul muwaffiq, wahuwa a’lam wa ahkam.